Mohon tunggu...
Ricky Pratama
Ricky Pratama Mohon Tunggu... -

Kue dan Cookies.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Close - Bullying and Bullshit (Scene 1)

13 November 2011   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:43 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Nya boleh tanya gak... kalo ada orang yang ajakin qta buat backstreet gmana?” Aurel, wajahnya terkesan menegang... tanyanya seakan melupakan yang baru saja berlalu... tanyanya... Teri – Reno... kemana ungkapan itu pergi? dimana ia-nya berlalu? Mengapa hal tersebut bergulir? Apa iya hal tersebut harus ditanyakan? Padahal... seakan pertanyaannya menginginkan sebuah jawaban yang berbeda... seakan pertanyaannya menginginkan semuanya, cerita ini berbeda... tapi... apa ini hanya sebuah luapan tanpa arti?
“Loh kok tanya gt, ya gak baguslah, lo taukan si Teri ma Reno, emangnya lo mau diajak backstreet”
“ya gak lah, tapi kan...” ujaran itu terhenti sampai disitu... terhenti... ia-nya sengaja dihentikan... pikirannya seakan mencoba mencari sebuah jalan aman, pikirannya tak ingin terlalu berfluktuasi... pikirannya... inginnya...
“Udahlah gak ada kata tapi... pokoknya jangan, kecuali lo dah siap sakit hati... aneh banget deh, masa pacaran sembunyi-sembunyi” sela Vanya... alisnya melengkung tajam... Aurel ianya tertunduk, terdiam... Aurel... padahal dia sudah tahu jawaban itu... kenapa pertanyaannya masih harus dilantunkan... kenapa? Apa ini hanya sekedar basa-basi ataukah...? ia-nya... jawaban itu terkesan tak ingin diraih... inginnya mencari yang lain... inginnya mencari dukungan inginnya... tapi kenapa... Reno – Teri, padahal ia sendiri yang telah menunjukan sikap, tapi kenapa? Apa cerita ini berbeda? Apa cerita ini tak sama? Apa? Tapi dimana letaknya? Apa karena cerita ini tentang qta... apa karena itu semuanya terlihat berbeda... apa karena itu semuanya seakan berbeda... apa ini bukanlah sekedar... keinginan pribadi... sebuah hasrat yang haus akan dukungan... sebuah hasrat manusiawi dimana terkadang “kata” tidak lagi terdengar penting...

Aurel, matanya sayu... bukan ini yang ingin dia dengar, sebuah dukungan... seakan itu yang terlintas dipikirannya, sebuah dukungan akan hubungannya yang kontroversi... pengakuan dan cinta, setidaknya dua kata itu yang berusaha bergulir dipikirannya... tapi apa iya backstreet, “backstreet” kata itu mulai muncul disela-sela hening pikiran seorang Aurel. Matanya tertunduk... handphone itu hanya terlihat, terpandang... seakan tanpa arti... tanpa arti... kerut itu mulai menghias bibirnya... basah itu mulai menggantikannya perlahan “ah gak usah ambil pusing” selayak itu yang berusaha diungkapkan tubuh mungilnya... mata itu sayu... perasaan itu sedikit berkecamuk... berbeda... ianya masih berfikir cerita ini berbeda... tapi dimana? Langkahnya, tubuhnya, geraknya seakan terbata... ia-nya sulitnyakah untuk melangkah? Apa ada maknanya melangkah? Ataukah ia berusaha berkata dalam langkah? Tapi apa?... Aurel...

Cerita itu seakan berlalu tanpa usaha, berlalu... itu saja tidak lebih, tidak teringat, Reno – Teri... keduanya seakan terhilang tersapu angin... bagai debu itu... debu yang “ia” seorang Aurel tatap tanpa arti... ia-nya kosong... “dia” yang baru ini berusaha mengambil alih dirinya... dilihatnya semuanya seakan terkesan memudar... orang itu, pohon itu, burung itu... dilihatnya semuanya terisi tapi kosong... Aurel... matanya terus menatap, tajam... tapi bukan itu yang ia tatap, “ini” yang ia tatap... seseorang dalam pikirannya... seseorang yang tersenyum dalam layar handphonenya...

Senyum itu tiba-tiba muncul... sela ini “anak itu manis” pikirnya dalam hati... diperhatikannya seorang anak kecil duduk didepannya... memegang sebuah balon kecil dengan tangkai... Mc-D tulisnya... lengkungan emas itu seakan mengajaknya untuk tersenyum... tersenyum... masih polos, ianya tertarik... mobil ini masih tergerak... senyum itu seakan hal yang baru hari ini... tulus... balon itu sedikit dimainkan... tangan ini berusaha untuk menutupinya... takut... ledakan itu... spekulasi ini... padahal hal itu belum... tapi kenapa aku tersenyum padahal aku... balon itu... aku takut... kenapa aku tersenyum jika aku takut... apa aku takut atau ini hanya menjadi sebuah pilihan? Atau aku yang memilih untuk takut? Apa aku...? kenapa aku? Anak itu berbahasa dengan berjuta makna... ianya tidak dapat dimengerti... hanya sebuah perasaan yang mencoba untuk bertaut... ianya... senyum ini...

Senyum ini... ia-nya seakan fatamorgana, bullshit...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun