Mohon tunggu...
Ricky Pratama
Ricky Pratama Mohon Tunggu... -

Kue dan Cookies.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Close - Support and Semi-Realistic (Scene 3)

13 November 2011   05:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:44 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“tapi itu kan gak nutup kemungkinan dia gak akan nyeleweng lagi...”
“iya sih, tapi seenggaknya Aurel bisa dapet kepastian, daripada kaya gini???” jelas Tri, sementara Aurel terkesan menunduk, sesekali dia berusaha agar kaca-kaca itu tidak jatuh berserakan, sesekali di terus berfikir, sesekali dia... stag... sesekali... dia... Aurel... matanya seakan kosong, pikirannya bermain dengan... tubuhnya berat... dunia ini terkesan ringan... perasaan apa ini... sulitkah? Apa? Kenapa aku? Kosong... terkadang pikirannya tak ingin mendengarkan penilaian itu, terkadang siapa sih mereka, mereka gak pernah ngenal gw... mereka gak tahu yang sebenernya... terkadang sisi egoisitasnya mulai mangambil alih... terkadang dirinya tersadar... terkadang ia hanya menemukan dirinya terjatuh kedalam jurang yang terbangun... jurang itu tidak gelap, jurang itu terang, jurang itu memiliki dua buah jalan didasarnya, jurang itu tidak menakutkan... jurang itu hanya memberikannya pilihan... jalan itu dipenuhi lampu kenangan masa lalu dan keinginan masa depan... jurang itu... seakan “dia” Aurel tidak ingin lekas beranjak... dirinya masih terdiam didasar... kalkulasi itu seakan hanya membuatnya semakin bertambah bingung... aku harus bagaimana? Kenyataan itu tak ingin ku dengar... kenyataan itu harusnya berubah... kenapa kenyataan ini tak ingin memihak padaku kenapa?

Matanya hanya berusaha menatap pikirannya sementara pikirannya enggan melihat air belas kasihan itu, terkadang air itu tidak murni, terkadang yang ada hanya sebuah luapan dari seseorang yang memakai topeng, pikir ini ingin berkata sejujurnya, tapi tangis ini pun seakan jujur, siapa yang salah, penilaian ku? Ataukah ini memang benar hanya sebuah egoisitas tanpa batas?

Bibirnya “Aurel” bibirnya ingin terangkat, sempurna, tapi kias itu kian kosong, mata itu tidak mengatakan dia bahagia, mata itu seakan terpaksa untuk tersenyum, sementara bibir itu... hanya sebuah bait puisi yang salah tempat, kias itu terkesan berlebih, kias... itu... mereka hanya terdiam... lebih dari sekedar menghormati... mereka... Aurel...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun