Dia bercerita pengalaman masa mudanya, sewaktu menghadiri ibadah natal di Paroki Santa Maria Assumpta Walikota Kupang.
“Beta lihat ada satu ibu maso gereja, deng sepatu hak tinggi, gaun warna biru ketat, lengkap dengan gelang, anting-anting tagantong di telinga. Mamatua jalan lurus pi depan langsung deka altar. Dia pung gaun talalu ketat ko sampe dia mau duduk sa masih baukir kermana ko,” kami berdua tertawa ngakak seperti teman lama yang baru bertemu kembali dan bernostalgia dengan masa masa muda dulu.
Sebelum mobil kembali ke ruas jalan utama Oebufu, dia melanjutkan, “waktu itu, beta bayangkan sa ini dia pu suami pasti bocor banyak ni ko dia pu suami beta kenal bae na, pegawai honor di kantor gubernur, satu minggu sebelum natal ada pinjam doi di beta. Jadi, beta lihat dia pung bini begitu na beta elus dada sa.”
“Hanya sa waktu itu beta lihat ketong pung orang dong ni kalau mau natal batasibuk minta ampun beli barang baru semua. Hanya perilaku ju masih sama sa. Kek sekarang ju masih begitu ju,” timpalnya.
Kami akhirnya sampai di belokan terakhir sebelum sampai di gang rumah saya. Pandangan kami sempat tertuju pada beberapa bangunan rumah warga yang sedang dihiasi dengan pernak pernik natal. Bahkan, ada juga rumah yang sedang direhab menjadi lebih bagus. Dia pun langsung berseloroh, “mau natal begini orang dong su sibuk cat pagar rumah, cat tembok supaya kelihatan baru. Itu biar batu lepas ju dong cat. Biar dong mau supaya ada hidup baru, ma setelah lewat natal tanggal 27 atau 28 begitu perilaku su kembali lama lai, jadi sama sa. Hahahahha....”
Dia tidak tampak begitu sinis. Cara dia bercerita sambil berkelakar, sembari tertawa santai, tidak menunjukkan bahwa dia sedang menertawai fenomena masyarakat menyambut perayaan natal.
Sampai di halaman rumah saya, kami berdua masih asik menertawakan cerita-ceritanya. Andaikan perjalanan masih panjang, saya membayangkan, ada begitu banyak kisah yang dia akan kisahkan.
Saya turun dari mobil sembari mengucapkan terima kasih atas percakapan singkat itu. Dia pun kembali dengan senyum dan tawa yang sama. Kami berpisah tanpa saling memperkenalkan diri. Saya hanya mengenalnya dari nomor mobilnya, A38. Jadi, saya namai saja dia, Emanuel, Tuhan beserta kita.
Sebuah kisah natal yang membekas dalam benak saya dari seorang supir taksi. Seperti sudah jadi tradisi jelang natal, kita memang selalu punya hasrat untuk membeli pakaian baru, sepatu baru, pernak pernik baru, makanan baru. Berharap semua yang baru itu merepresentasikan semangat, perilaku dan gaya hidup baru setelah natal. Tapi, seperti kata sang sopir taksi, semua itu tidak bertahan lama, bahkan setelah tanggal 25 Desember. Semuanya pudar dan kembali lagi ke perilaku yang lama.
Kemudian di gereja, saya mendengar pastor membacakan pesan natal dari Uskup Agung. Akan tetapi, pikiran saya tertuju pada pesan Emanuel, sang sopir taksi.
Desember 2022