Beberapa hari sebelum merayakan pesta Paskah tahun ini, saya mendapat kabar duka, seorang sahabat perempuan di Kota Maumere telah meninggal dunia. Usianya masih muda. Sekitar 32-33 tahun. Kata teman-teman, dia meninggal dunia setelah dirawat di sebuah rumah sakit swasta karena penyakit jantung.
Seperti teman-teman lainnya, ini berita yang mengejutkan bagi saya. Almarhumah, sejauh yang saya kenal, termasuk orang yang periang, selalu tersenyum, seolah tak ada rasa sakit sedikit pun di dalam tubuhnya. Dia berpulang terlalu cepat, bahkan hanya beberapa minggu setelah pertunangannya. Saya bisa membayangkan kesedihan yang mendalam dari tunangan dan keluarga dekatnya.
Dari seberang pulau, beriringan dengan kesedihan dan perasaan kehilangan, saya melambungkan doa, memohon keselamatan jiwa sahabat saya itu dan sekaligus kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kehilangan selama-lamanya orang tercinta adalah pengalaman yang teramat aneh meski di seumur hidup, kita sudah sering berhadapan dengan rupa-rupa kehilangan.
Kematian adalah hukum alam yang paling absolut. Walaupun, ada banyak penghiburan untuk menghapus kesedihan, seperti misalnya yang ditawarkan oleh agama, tetapi masih ada setitik kesedihan yang tak bisa dihapuskan sama sekali, yakni kenangan.
Ketika kita bersedih karena orang-orang tercinta pergi meninggalkan dunia, maka itu adalah kesedihan yang timbul akibat kenangan-kenangan yang pernah ada bersama orang sudah meninggal dunia itu. Kita meratap di hadapan jasad kaku seseorang hanya karena 'semuanya tinggal kenangan' di dalam sejarah hidup kita bersama.
Jika kematian adalah hukum alam paling absolut dan kesedihan orang-orang karena kematian ialah akibat dari kenangan-kenangan, maka pertanyaan terlintas di dalam benak saya seketika; apa yang bisa kita tinggalkan setelah kita mati? Atau, apa kenangan yang bisa kita tinggalkan setelah kita mati?
Pertanyaan seperti ini semakin mendesak dari hari ke hari karena kematian datang tanpa permisi terlebih dahulu. Dia datang tiba-tiba, sepintas lewat saja, dan sialnya kita tak punya kuasa secuil pun untuk mengubah kapan dan bagaimana kita mati. Sehebat apapun manusia hidup di dunia, dia akan tunduk tak berkutik di hadapan kematian yang datang tanpa ampun.
"Selagi saya masih bernapas di pagi hari, dan mendapati matahari terbit di timur dan tenggelam di barat, apa yang mau saya tinggalkan di dunia ini," kira-kira begitulah pertanyaan yang mengganggu pikiran saya dan belum ada jawaban yang terlintas sampai detik ini.
Selama hidup, orang mungkin punya prinsip, supaya tak membuat susah orang lain, dan tak membuat orang lain bersedih, sebaliknya membahagiakan orang-orang yang ada di sekitar. Artinya, selalu memberi energi positif kepada orang lain. Tapi, ketika pikiran akan kematian itu datang lagi, prinsip-prinsip itu terasa belum memadai sama sekali. Masih ada yang kurang.
Sembari pertanyaan-pertanyaan itu membawa rasa penasaran, saya mulai sadar kalau orang-orang di sekitar mulai pergi meninggalkan dunia ini. Kita seperti sedang berada di antrean, menunggu nama kita dipanggil ke loket namun tanpa berharap nama kita benar-benar disebut.
Kawan-kawan saya telah pergi selamanya. Kepergian mereka adalah cermin dari kepergian saya juga.