Saya melihat langsung penanganan korban erupsi Ile Lewotolok sudah lebih dari dua minggu ini terhitung sejak gunung itu meletus pada 29 November 2020. Ribuan warga di dua kecamatan yakni Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur mengungsi ke Kota Lewoleba. Mereka harus rela meninggalkan rumah mereka, ternak dan kebun mereka karena bahaya erupsi Ile Lewotolok bisa terjadi kapan saja. Hingga saya menulis artikel ini, belum ada kepastian kapan mereka sudah bisa kembali ke kampung halaman mereka.
Sebagai pengungsi, warga dari Ile Ape ini layak mendapat pertolongan. Mereka sendiri tak pernah memilih jadi pengungsi. Keadaan bencana alam yang memaksa mereka menjadi pengungsi untuk sementara waktu. Maka pemerintah pun wajib memberi jaminan kehidupan kepada ribuan warga tersebut.
Semua bentuk pertolongan dari pemerintah tentu adalah sebuah kewajiban karena pengungsi punya hak untuk mendapatkannya. Jadi, saya tidak melihat kewajiban itu sebagai sebuah bentuk sosial karitatif yang perlu dibahas.
Yang akan disinggung di sini adalah rupa-rupa bantuan sosial kemanusiaan yang datang dari pelbagai pihak pasca erupsi Ile Lewotolok. Tak terhitung berapa banyak bantuan sosial yang mengalir untuk para pengungsi. Mulai dari komunitas, lembaga hingga partai politik turun langsung memberikan bantuan guna meringankan beban para pengungsi.
Rasa kemanusiaan dan persaudaraan itu menyebarluas dengan sangat cepat. Media sosial tentu punya andil besar akan hal ini. Sejak awal potongan-potongan foto dan video bagaimana korban dievakuasi memang berseliweran di media sosial. Hal ini menggugah nurani setiap orang yang melihatnya tanpa memandang ruang agama, suku dan ras.
Atas nama kemanusiaan, semuanya seolah bergandengan tangan mengumpulkan donasi secara spontan demi meringankan beban para pengungsi erupsi Ile Lewotolok. Kita tentu 'Angkat topi' untuk spontanitas kemanusiaan yang luar biasa ini.
Di media sosial, sudah barang tentu, terpampang banyak sekali aksi-aksi menebar kebaikan bagi para pengungsi. Beraneka foto ditampilkan di sana. Dengan baju partai politik atau spanduk tertentu atau komunitas tertentu, para penyumbang berpose bersama para pengungsi dengan tumpukan-tumpukan bantuan yang mereka bawa. Biasanya ada paket sembako, pakaian layak pakai, masker dan pelbagai kebutuhan lainnya. Tentu ini bukan masalah. Malah sebuah apresiasi masih harus diberikan.
Dengan mengunggah aksi kemanusiaan itu di media sosial, siapa saja setidaknya mau memberi tahu dua hal; pertama, lembaga, komunitas, partai politik atau kita punya eksistensi, kita ada dan turut menebar kebaikan. Kedua; sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik dan para donatur bahwa bantuan itu sampai ke tangan warga terdampak erupsi Ile Lewotolok. Alasan yang terakhir ini tidak ingin saya ulas.
Lebih lanjut penting untuk melihat bagaimana menakar motivasi orang mengunggah kebaikan di media sosial. Kebaikan itu memang harus ditakar untuk menguji sejauh mana aksi kemanusiaan, dalam konteks yang saya sebut diposting di media sosial tersebut berhadapan dengan etika. Â
Media sosial punya peran penting menyebarluaskan informasi tentang keadaan susah dan menderita suatu individu atau kelompok masyarakat tertentu. Itu harus diakui, karena seringkali gelombang kebaikan itu datang karena masifnya informasi yang dibagikan di media sosial.
Namun, ketika kita berhadapan dengan si penderita itu dan memberinya pertolongan yang sangat dia butuhkan, hendaknya yang kita lakukan itu semata-mata karena memang itu sebuah kewajiban dan bukan sebuah tuntutan eksistensi. Jika tidak demikian, apa yang kita sebut dengan 'aksi kemanusiaan' itu berubah menjadi eksploitasi terhadap penderitaan orang lain.