Bukan harapan, bukan hiburan, agama justru membawa ketakutan dan kecemasan. Atribut-atribut agama yang seharusnya menunjukkan identitas sakral, dalam wajahnya yang paling muram, justru menjadi fobia layaknya seorang anak kecil yang takut gelap. Tidak heran kalau dalam sebuah dokumentasi berjudul "Akar Dari Semua Kejahatan", Ricahard Dowkins, seorang ahli biologi Universitas Oxford menyatakan bahwa agama adalah akar dari semua kejahatan.Â
Keyakinan agama yang tampak sakral, ramah, dan bahkan penuh damai menggiring generasi muda dan para penganut radikalnya meledakkan bom. Tesis Dawkins mudah dibantah tentu. Akan tetapi, sejarah bisa sejalan dengannya. Litani kekerasan atas nama agama (dan antar agama) dengan mudah bisa dirunut ke belakang hingga pada suatu periode di mana tendensi surgawi justru menjadi urusan sekunder.
Baron de Montesquieu, sudah sejak dulu melihat gejala kekerasan ini. Di hadapannya waktu itu terpampang kekerasan brutal antar agama Katolik dan para reformatoris. Ia mengakui kalau sejarah diwarnai peperangan antar agama, "Bukan keragaman agamalah yang menyebabkan peperangan tersebut, melainkan semangat intoleran yang menggelorakan suatu kelompok agama yang beranggapan bahwa dirinya mempunyai kekuasaan untuk memerintah," ujarnya.
Namun, di tengah narasi pesimisme intoleransi agama, selalu lahir jalan damai dari orang-orang yang tahu kalau agama itu tidak setali tiga uang dengan kekerasan. Bagi orang-orang ini wajah Tuhan itu nyata di dalam sesama; siapa saja dan apa saja yang Tuhan ciptakan. Dan memang hanya kedamaianlah yang diwartakan oleh setiap agama bukan sebaliknya. Selebihnya, adalah interpretasi bodong dan kehendak buta untuk berkuasa atas nama Tuhan.
Mari lihat sebuah narasi damai di tengah teror...
Mungkin masih segar dalam ingatan. Senin, 15 Desember 2014, Man Haron Monis, seorang pria bersenjata asal Iran menyandera puluhan orang yang berada di Lindt Caf di kota Sidney, Australia. Dalam aksi yang menyita perhatian masyarakat internasional ini, Man Haron Monis menyuruh beberapa orang pengunjung caf yang sudah ia sandera, mengibarkan sebuah bendera hitam dengan tulisan Arab dari jendela cafe. Disinyalir bendera tersebut terkait dengan sebuah kelompok garis keras Islam di Timur Tengah.Â
Akhirnya, penyanderaan yang berlangsung selama enam belas jam itu berakhir setelah pihak kepolisian Australia menyerbu masuk ke dalam Caf dan meringkus pria bersenjata tersebut. Namun, masyarakat Australia berduka karena dua orang warga sipil menjadi korban dan beberapa lainnya terluka.
Kelompok-kelompok Muslim di Australia mengutuk aksi ini dan menegaskan kalau aksi teror tersebut sama sekali tidak mencirikan semangat Islam. Puluhan ribu pesan muncul di media sosial untuk mendukung warga Muslim di Australia setelah aksi penyanderaan di Sidney tersebut dapat menimbulkan Islamfobia di negara tersebut.
Dalam akun facebooknya, seorang pemuda Australia bernama Rachel Jacobs menceritakan pengalamannya saat dia berada di salah satu stasiun kereta api di Australia pada hari yang sama dengan aksi penyanderaan tersebut.
Di dalam kereta, ia melihat ada seorang penumpang perempuan yang duduk di salah satu sudut kereta dengan wajah yang sedikit pucat. Perempuan tersebut dengan takut-takut berusaha melepaskan jilbab yang ia pakai dan memasukkannya ke dalam tas. Melihat tingkah aneh dan ketakutan perempuan ini, Jacobs mendekatinya dan berkata, " pakai lagi jilbab Anda. Tidak ada yang perlu anda takuti. Saya akan berjalan bersama Anda." Mendengar suara Jacobs, perempuan tersebut sontak menangis dan memeluk Jacobs selama hampir satu menit.
Kisah Jacobs dan perempuan berjilbab ini kemudian menginspirasi pengguna Twitter untuk menggunakan tagar #illridewithyou.