Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Krisis Res Publica Indonesia

22 November 2020   22:46 Diperbarui: 25 November 2020   16:12 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Mencari kecocokan kebebasan di Indonesia. (sumber: KOMPAS/TOTO S)

"Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada lagi batas-batas yang jelas antara dua medan berbeda ini maka sesunguhnya benih-benih totalitarianisme itu terus tumbuh. Mungkin dengan varian yang berbeda."

Di Indonesia, kita sudah terbiasa melihat urusan-urusan agama masuk terlalu jauh ke dalam ruang publik. Negara republik yang seharusnya tak boleh punya identitas justru jadi instrumen yang tidak bisa konsisten dalam dirinya sendiri. 

Berulang-ulang kali, ranah privat itu 'merusak' tatanan publik. Teranyar kemarin, sebagaimana laporan Tirto (RUU Minol: Kutip Kitab Suci, Riset tak Dalam, Rentan Kriminalisasi, 13 November 2020) dalam pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol, para pengusul di lembaga DPR dalam pemaparannya justru memasukkan kutipan ayat kitab suci sebagai salah satu landasan minuman alkohol urgen untuk dilarang. 

Ini tentu juga mencederai pluralisme Indonesia. Bukan hanya agama sebenarnya, urusan ekonomi dan urusan ranjang sekalipun juga acapkali secara sewenang-wenang diintervensi jauh ke dalam ruang publik. 

Negara seyogyanya harus menjamin bahwa yang privat tidak boleh mengganggu ruang publik. Tapi yang terjadi sebaliknya, sebagai contoh, bukannya merancang aturan yang melarang warga tidak boleh mengemudi dalam keadaan mabuk, legislatif toh justru melarang minum minuman beralkohol. Dasarnya kitab suci pula.

Masih banyak contoh jika mau dirunut sebenarnya. Namun, garis besarnya yakni masuknya ranah privat ke dalam ruang publik bisa jadi merupakan sumber hiruk pikuk persoalan yang selama ini terjadi. 

Bahayanya adalah jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada lagi batas-batas yang jelas antara dua medan berbeda ini maka sesunguhnya benih-benih totalitarianisme itu terus tumbuh. Mungkin dengan varian yang berbeda.

Saya akan membedahnya dengan konsep politik Hannah Arendt sebagaimana yang pernah ditulis oleh F Budi Hardiman dalam bukunya (kalau tidak salah) berjudul, Ruang Publik.

Arsitektur Keruntuhan Hannah Arendt Tentang Res Publica

Sejak awal Budi Hardiman sudah mengingatkan kalau konsep Filsafat Politik Arendt sangat kuat berdiri di atas konsep politik Aristoteles dan pengalaman Arendt sendiri berhadapan dengan rezim NAZI yang totaliter. 

Keseluruhan bangunan konsep filsafat politik Arendt di dalam artikel ini secara langsung maupun tidak langsung mau menganalisis dan mengupas habis totalitarianisme yang-bagi Arendt sendiri- berpuncak pada pemusnahan ras Yahudi oleh NAZI. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun