Sebuah foto binatang purba Komodo yang tampak mengadang truk proyek seketika viral di media sosial. Sekilas jika dilihat tidak menggunakan nurani, foto yang berlokasi di Pulau Rinca itu tampak biasa-biasa saja. Tapi yang membuat dunia terhentak adalah makna tersirat dari foto tersebut di balik masifnya pembangunan taman 'Jurasic Park'.
Pemerintah Indonesia di bawah rezim Jokowi sedang gencar mempromosikan dan menjadikan 'Labuan Bajo' sebagai daerah wisata premium. Pembangunan fisik besar-besaran dilakukan di sana tak terkecuali di Pulau Rinca, salah satu habitat asli komodo. Besi-besi beton, semenisasi dan kendaraan-kendaran proyek hilir mudik keluar masuk kawasan 'sakral' tersebut. Foto komodo yang mengadang truk proyek itu pun seolah 'teguran' langsung dari komodo kalau kehadiran alat-alat berat itu tak dikehendaki sama sekali.
"Sudah masuk rumah orang tanpa izin, merusak pula, itu namanya pencuri," andai saja, binatang bernama latin varanus komodoensis tersebut bisa memprotes.
Sebagian warganet yang geram melihat potret itu menyebut, komodo telah memberi sinyal kepunahannya sendiri. Tagar #savekomodo pun menyeruak di puncak topik perbincangan di media sosial. Habitat komodo memang harus diselamatkan dari keserakahan homo sapiens. Keserakahan dan segela jenis dominasinya memang watak khas homo sapiens.Â
Tanpa perlu analisa panjang  lebar, kita pun bisa menilai keserakahan homo sapiens dari konsep pembangunan wisata premium yang hanya mengejar kepentingan ekonomi pemodal besar. Saking rakusnya, sejumlah korporasi besar dipastikan akan membuka resort mewah sekaligus memprivatisasi kawasan Taman Nasional Komodo.Â
Warga setempat sudah membaca fenomena ini dan bahkan melayangkan protes langsung. Namun alih-alih mendengar rintihan hati warga, pemerintah justru terus berdalih dengan membuat logika tandingan; investasi wisata premium untuk kesejahteraan masyarakat. (bdk ABC News, 25 September 2010, Dianggap bertentangan dengan konservasi, sejumlah warga menolak pembangunan 'Jurassic Park' di Taman Nasional Komodo) Â
Menjual 'kesejahteraan masyarakat' untuk memuluskan langkah investor dengan karpet merah tanpa peduli pada kelestarian lingkungan dan keberlangsungan masyarakat lokal bisa jadi dosa terbesar yang negara buat. Hukum rimba kapitalisme liberal pun berjalan. Masyarakat lokal hanya akan mendapat remah-remah yang jatuh dari meja korporasi. Itu pun kalau remah-remah itu tidak dibersihkan oleh negara dalam bentuk rupa-rupa pungutan pajak.Â
Lalu, komodo yang habitat aslinya sudah hancur, jadi berisik, tercemar limbah hotel dan resort, perlahan-lahan musnah karena tak sanggup beradaptasi dengan lingkungan barunya. Kalau sudah begini, kesejahteraan masyarakat macam apa yang ada dalam imajinasi negara?Â
Kenapa tidak memfasilitasi saja masyarakat lokal yang sudah lama sekali hidup berdampingan dengan komodo untuk menjadi tuan di rumah mereka sendiri? Kenapa investor perusak lingkungan yang seolah tamu tak tahu malu itu justru menjadi tuan? Kenapa negara harus tunduk pada kepentingan invstor yang merupakan representasi nyata dari kepentingan segelintir oligark? Kalau sudah seperti ini, kenapa kita harus tunduk pada kebijakan negara, meski rupa-rupa protes, tagar dan kecaman sudah dialamatkan kepada negara?
Rasa muak dan jengah terhadap sejumlah kebijakan negara ini membuat saya berpikir ulang mengenai asal muasal negara. Saya membayangkan satu kondisi masyarakat tanpa adanya negara yang mengurus kepentingannya sendiri. Masyarakat adat dengan berbagai kearifan lokal dan hukumnya mengurus hajat hidup kelompok mereka sendiri; mulai dari kelahiran sampai kematian. Binatang-binatang hidup liar di habitatnya yang asli tanpa takut ancaman monster mesin-mesin proyek. Manusia, binatang dan pohon-pohon hidup di alam yang penuh kedamaian. Semua makhluk hidup melakukan adaptasi alami terhadap segala jenis perubahan atau evolusi dalam rentang waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk bisa bertahan hidup dan tidak punah.
Memikirkan negara yang hanya mengakomodasi kepentingan homo sapiens yang serakah seperti sebuah tragedi  menyakitkan dalam drama-drama YunaniÂ