Beberapa waktu lalu Indonesia di sorot oleh media asing terkait dengan penggunaan pengeras suara di masjid, media yang membicarakan hal tersebut berkantor pusat di paris yaitu AFP (Agence France-Presse). Sebetulnya apakah kencangnya volume toa masjid tersebut masih dapat dikatakan toleransi umat beragama? Atau justru sudah melewati batas toleransi?
Indonesia sebetulnya memiliki dasar hukum tentang ambang batas maksimal dalam kebisingan di rumah ibadah, peraturan tersebut terdapat pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, termasuk untuk di tempat ibadah. Selain itu ada pula aturan yang telah dibuat oleh Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu aturan pada waktu subuh, waktu zuhur dan jumat dan waktu Asar, Magrib dan Isya
Kebisingan tersebut juga bisa berlangsung lebih dari 15 menit terlebih saat bulan ramadhan, padahal di pemukiman sebetulnya ada banyak sekali mushola dan masjid yang terkhusus berlokasi di daerah JABODETABEK, semestinya volume suara tersebut dapat di kurangi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga tidak menyebabkan kebisingan.
Pengeras suara TOA sendiri mulai banyak digunakan sejak tahun 1970 yaitu di masjid Al- Azhar, padahal masjid yang rampung dibangun pada tahun 1958. Namun pada faktanya tidak semua masjid langsung menggunakan pengeras suara pada masa tersebut, karena keterbatasan biaya serta masih kurangnya ketersediaan sambungan listrik.
Ada beberapa kasus yang pernah diliput oleh media lokal terkait aksi protes yang dilakukan oleh warga tentang kencangnya suara TOA tersebut, namun tindakan protes tersebut malah berujung amukan oleh warga setempat, akibat dari hal tersebut masyarakat yang merasa terganggu enggan untuk melaporkan karena takut terjadi hal serupa.
Kerasnya suara TOA tersebut juga sejalan dengan aksi penolakan pembangunan serta pengoprasian gereja di beberapa daerah "dikutip dari BBC News, setidaknya ada 200 gereja yang di segel dan ditolak dalam 10 tahun terakhir". Ditambah lagi dengan sulitnya membuat izin mendirikan gereja, sudah semestinya kita generasi muda Indonesia saling berpegangan mempererat hubungan antar umat beragama dan menjunjung tinggi nilai toleransi, mengesampingkan hal -- hal yang bersifat pribadi, terlebih lagi menggunakan agama sebagai salah satu jurus jitu politik.
Sudah seharusnya kita menerapkan sikap persatuan yang di lakukan oleh para pahlawan yang telah memerdekakan Indonesia, sedikit kilas balik perjuangan para pahlawan kemerdekaan, selalu gagal dalam misi memerdekakan Indonesia selama beratus -- ratus tahun, namun saat rakyat bersatu, pasukan penjajah berhasil dipukul mundur.
Semangat persatuan dan kesatuan itulah yang harus kita terapkan dimasa saat ini, perjuangan kita sebagai pemuda bangsa tidaklah lagi sebatas mengasah bambu, ataupun terpaksa menjadi jugun ianfu , jika Indonesia masih mempermasalahkan isu beragama, maka kita akan semakin tertinggal jauh dari bangsa lain.
Indonesia bukan milik Islam, Indonesia bukan milik Kristen, Indonesia juga bukan milik Budha,Bukan milik Hindu, Konghucu serta Katolik, bukan juga milik kulit putih ataupun hitam, Indonesia milik kita bersama tidak boleh ada diskriminasi dan intoleransi dalam Indonesia mari kita bersama ciptakan suasana kebersamaan , bahu membahu membangun toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H