Mohon tunggu...
Ricilia Syafei
Ricilia Syafei Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswi universitas sriwijaya

Selanjutnya

Tutup

Money

Mari Menapak Elpiji biru 12 Kg non Subsidi

21 September 2014   08:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:03 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Fakta Bijak Pemerintah dan Pertamina Konversi Minyak Tanah Ke Gas Elpiji

Awalnya banyak yang menyangsikan akan berhasil, konversi Minyak Tanah ke LPG menjadi fenomena penting program konversi energi di Indonesia. Apalagi, keberhasilan mengubah kebiasaan masyarakat yang turun termurun dari generasi ke generasi menggunakan Minyak Tanah beralih ke LPG  bukan sekadar persoalan teknis, namun juga sarat dengan aspek sosial dan budaya. Sebenarnya, tujuan utama konversi Minyak Tanah ke LPG untuk mengurangi subsidi. Maklum, Minyak Tanah, yang biaya produksinya setara dengan Avtur, selama ini dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah yang terkonsentrasi di perdesaan. Sehingga pemerintah memberikan subsidi harga.

Program konversi Minyak Tanah ke LPG yang hingga kini telah menjangkau hampir seluruh kawasan Indonesia merupakan program pemerintah yang melibatkan beberapa intansi pemerintah. Selain itu juga secara langsung melibatkan PT Pertamina serta para pengusaha, baik yang bergerak dalam industri maupun pabrikan kompor LPG dan Tabung LPG serta kalangan swasta yang menjadi mitra PT Pertamina sebagai pengelola SPBE, angkutan atau transportasi sampai agen maupun penyalur LPG 3 Kg. Kebijakan subsidi minyak tanah dan LPG terkait erat dengan Program Konversi LPG untuk minyak tanah yang dilakukan secara besar-besaran, yang bertujuan menggantikan penggunaan subsidi minyak tanah dengan LPG tabung 3kg bersubsidi untuk rumah tangga miskin di pedesaan. Sementara pemerintah Indonesia mengharapkan turunnya penggunaan minyak tanah secara drastis dalam beberapa tahun terakhir, kesulitan dalam menerapkan Program Konversi di beberapa provinsi telah memperlambat penurunan biaya subsidi terkait minyak tanah.

Selain itu, pemakaian elpiji untuk rumah tangga lebih praktis, efisien, lebih bersih, dan lebih menyenangkan. Upaya mendorong masyarakat, khususnya lapisan menengah bawah untuk memakai elpiji dapat juga dilihat sebagai upaya meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Masyarakat yang bisa menikmati jenis energi yang bersih ini tentu tidak hanya mereka dari kelompok menengah atas, tetapi juga kelompok menengah ke bawah. Akan tetapi pada tanggal 10 September 2014 pukul 00.00 waktu setempat, Pertamina menaikkan harga elpiji tabung 12 kg sebesar Rp1.500 per kg untuk menekan kerugian bisnis tersebut.Dengan kenaikan ini, harga jual rata-rata elpiji 12 kg dari Pertamina menjadi Rp 7.569 per kg dari sebelumnya Rp6.069 per kg. Kenaikan tersebut masih jauh dari harga keekonomian yang mencapai di atas Rp10.000 per kg. Untuk itu, Pertamina berencana menaikkan lagi harga elpiji 12 kg sebesar Rp1.500 per kg pada 1 Januari 2015. Selanjutnya, harga elpiji dinaikkan Rp1.500 per kg setiap enam bulan hingga keekonomian. Per 1 Juli 2015 naik Rp1.500 per kg, 1 Januari 2016 naik Rp1.500 per kg, dan 1 Juli 2016 naik Rp1.500 per kg.

Kenaikkan harga sebagai akibat dari penurunan nilai mata uang mau tidak mau harus dialami oleh semua negara, tak terkecuali di Indonesia. Tangan-tangan tak terlihat atau “The Invisible Hand” yang menyebabkan inflasi ini akan mengakibatkan pelonjakkan harga di berbagai aspek kehidupan. Segala jenis produk yang bergerak dalam bidang barang/consumer goods maupun jasa/servicemengalami peningkatan pada harga jualnya. Kenaikkan ini pun akan berdampak sistemik terhadap perekonomian di dalam sebuah negara. Upah atau gaji seorang karyawan dari para pelaku industri pun ikut disesuaikan seiring dengan terjadinya inflasi. Sebagai pelaku industri dalam negeri di bidang minyak dan gas, Pertamina pun ikut merasakan segala macam akibat dari inflasi ini.

Kebijakan untuk menaikkan harga elpiji 12 kilogram non subsidi diperlukan untuk keseimbangan harga dan menjaga nilai mata uang Rupiah di Indonesia. Penyesuaian harga ini pun tidak semena-mena ditetapkan oleh Pertamina. Secara berkala, BUMN yang bergerak dalam bidang migas ini akan melakukan peningkatan harga yaitu setiap enam bulan sekali.

Pertamina Tanpa Pamrih

PT Pertamina memiliki peran yang cukup penting. Perusahaan milik negara yang bergerak dalam bidang migas inilah yang bertugas melakukan pengadaan LPG maupun pengadaan tabung LPG 3 Kg untuk paket perdana. Perusahaan negara ini pula yang melakukan pendistribusian paket perdana kepada masyarakat yang menjadi target atau sasaran program ini. Selain itu juga berperan dalam pengisian ulang produk LPG 3 Kg serta mensuplai dan distribusi LPG 3 Kg hingga ke agen-agen untuk selanjutnya diteruskan ke konsumen.

Perbincangan soal kenaikan LPG 12 Kg non subsidi menjadi topik empuk bagi siapapun yang ingin berkomentar, dan berharap mendapat simpati dari masyarakat yang melihatnya beraksi dan berbicara. Selama sepekan melihat dan mendengar topik diskusi, baik itu di televisi, radio maupun dalam forum publik, semakin jelas begitu banyaknya orang pandai berbicara namun sedikit cerdas. Tetapi melihat itu semua, justru membuat insan Pertamina semakin paham bahwa gejolak yang terjadi di luar sana adalah panggung untuk mencari jalan selamat di Tahun P 2014. Karena itu, benarlah kiranya jika di internal Pertamina sendiri semua tetap fokus pada tugas pekerjaan masing-masing. Perjalanan tahun 2014 masih panjang. Gejolak dan riakriak gelombang masih akan terus berdatangan. Tetapi selama kita fokus, niscaya kita akan menggapai target yang telah ditetapkan. Lebih baik sedikit bicara, banyak bekerja. Biarkan hasil kinerja yang membuktikan kepada semua orang, bahwa kebijakan yang dikeluarkan korporasi merupakan hasil putusan RUPS dan sebagai bentuk dari penerapan tata kelola perusahaan yang baik Good Corporate Governance.

Polemik Terkini Terkait Penetapan Harga Elpiji 12 Kg

Elpiji 12 kg atau elpiji non subsidi merupakan komoditas nonsubsidi sehingga penetapan harganya seharusnya dilakukan secara keekonomian dan mengikuti volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sejauh ini, harga Elpiji 12 kg dijual di bawah harga keekonomiannya. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, harga Elpiji nonsubsidi Indonesia (Rp4.944 per kg) relatif yang termurah. Harga Elpiji beberapa negara asia seperti China, dan India berkisar antara Rp12.600 per kg hingga Rp20.000 per kg. Akibatnya, PT Pertamina sebagai entitas bisnis mengalami kerugian.

Harga LPG bersubsidi di Indonesia direvisi dua kali sejak minggu pertama bulan Januari 2014. PT Pertamina mengumumkan harga baru untuk LPG tabung 12kg, yang digunakan secara luas untuk kegiatan rumah tangga sehari-hari, pada tanggal 1 Januari 2014. Harga tersebut naik dari Rp5.850 (US% 0,53) per kg menjadi Rp9.809 (US$0,88) per kg, kenaikan sebesar 67 persen. Kenaikan harga ini merupakan perubahan harga pertama sejak tahun 2009, ketika LPG tabung 12 kg ditetapkan di harga Rp5.850 (US$0,53) per kg. PT Pertamina mengumumkan telah mengalami kerugian sebesar Rp21,8 triliun (US$2,0 miliar) dari tahun 2008-2013 dalam distribusi LPG tabung 12kg (The Jakarta Post, 2014), dan akan terus mengalami kerugian sebesar Rp2.100 (US$0,19) per kg di bawah harga baru tersebut (Kompas, 2014). Posisi PT Pertamina ini didukung oleh penilaian yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menghitung kerugian Pertamina pada tahun 2011 dan 2012 kurang lebih sebesar Rp7,7 triliun (US$0,60 miliar) pada tahun 2011 dan 2012, dan menyatakan bahwa hal ini diakibatkan terutama oleh distribusi LPG tabung 12kg (Liputan6, 2014; The Jakarta Post, 2014).

Pada tanggal 5 Januari 2014, menyusul pertentangan publik yang keras atas keputusan Pertamina pada hari-hari setelah kenaikan harga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengintervensi debat tersebut, dan menginstruksikan PT Pertamina dan menteri-menteri terkait untuk mengkaji ulang keputusan awal tersebut dalam kurun waktu 24 jam.

Hari berikutnya, PT Pertamina mengurangi kenaikan harga tersebut menjadi seperempat kenaikan sebelumnya, dan menetapkan harga eceran LPG 12kg sebesar Rp6.850 (US$0,62) per kg dan menyatakan reaksi masyarakat terhadap kenaikan harga sebagai alasannya.  Pada saat yang bersamaan, menanggapi pengurangan harga tersebut, PT Pertamina merevisi proyeksi pertumbuhan keuntungannya pada tahun 2014 dan seterusnya, dari 13,17 persen menjadi 5,65 persen. Menurut Hanung Budaya, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina, 59 persen LPG yang dipasarkan Pertamina diimpor, sementara konsumsi LPG Indonesia pada 2013 mencapai 5,6 juta ton, di mana sebesar 4,4 juta ton disubsidi (Kompas, 2014).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun