Mohon tunggu...
Yohanes Budi Purwanto
Yohanes Budi Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya seorang Jawa, Katholik, Karyawan swasta, biasa naik motor, juga mengemudi mobil, sesekali naik kereta dan angkot, metromini dan busway, tinggal di Bintaro sektor 9. Bukan anggota partai politik dan selama 2 pemilu terakhir tidak pernah mencoblos. Benci koruptor. Sudah itu saja...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Bukan Sondang

22 Desember 2011   04:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hanyalah seorang bapak dari 4 orang anak yang masih kecil -
kecil. Aku suka sekali menonton berita di semua TV yang akhir - akhir ini
mayoritas berisi berita tentang kelakuan para "orang besar" di negeri
ini. Saya sebut saja "orang besar" karena kalau aku sebut mereka
pejabat, nanti asosiasinya hanya kepada para pejabat pemerintah padahal dalam
berita - berita itu yang paling banyak eksis adalah "orang besar"
yang banyak berkantor di gedung bulus ( mungkin itu sebabnya mereka banyak yang
berakal bulus ! ). Dan sungguh kalau mau jujur, hampir semua berita yang
menyangkut para "orang besar" itu tidak ada yang mampu membesarkan
hatiku sebagai rakyat Indonesia, kalau tidak mau dibilang sebagian berita yang
ditampilkan justru bikin kuesel, jengkel, marah, gondok dan akhirnya frustasi.< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />

Coba aja diperhatikan. Hari ini beritanya tentang salah satu
"orang besar" yang didakwa korupsi. Besok beritanya nyambung ke
komentar dari para " orang besar" lainnya tentang persidangannya,
tapi titik beratnya sebenarnya hanya ingin menyerang partai lain. Lusa beritanya
tentang komentar "orang besar" yang baru keluar dari penjara karena
kasus tipu - tipu dokumen. Besoknya lagi tentang "orang besar" yang
lupa dengan duitnya. Melihat berita - berita itu sepanjang hari sungguh membuat
aku frustasi, merasa tidak berdaya dan ingin mati saja. Ditambah beban ekonomi
keluarga yang selama beberapa bulan ini harus gali lubang tutup lubang karena
kontrak kerjaku dengan perusahaan tempatku bekerja selama 2 tahun terakhir
diputus begitu saja, tanpa pesangon, tanpa apa - apa. Masih kurang berat lagi ?
Ibu pemilik rumah kontrakanku sudah tidak sabar ingin mengusir kami dari rumah
yang kami tempati, karena pembayaran kontrak rumahnya sudah terlambat 4 bulan.
SPP anakku sudah 3 bulan menunggak ( meskipun sekolah di sekolah negeri dan katanya
gratis, prett...).

Pagi ini, ketika berangkat dari rumah untuk mencari peluang
mendapatkan uang meskipun hanya selembar dua lembar, yang ada hanya perasaan
bingung dan galau ( ikut bahasa gaul anak muda). Apalagi kalau ingat bahwa
beras di rumah hanya cukup untuk sampai hari ini saja. Ingin rasanya aku
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah agar rasa frustasi, kecewa dan marah
ini bisa hilang menguap. Sekilas terbersit keinginan untuk terjun saja dari
lantai sebuah mall ( mau terjun dari apartemen belum kuat bayar cicilannya ! ),
atau menabrakkan diri di kereta yang sedang melaju, atau membakar diri seperti
pemuda di Tunisia, biar pemerintah dan para "orang besar" itu tahu
betapa kecewa dan putus asanya aku terhadap mereka. Namun sesaat kemudian terngiang
pertanyaan si bungsu yang baru bisa ngomong ketika mau berangkat dari rumah
tadi pagi, "Papa mau kerja ?".

"Iya dik, adik di rumah aja sama mama ya."

"Papa mau nyari uang ?" sambungnya.

" Iya dong," jawabku dengan hati yang masygul karena aku
masih belum tahu kemana harus mencari uang hari itu.

"Beliin adik kue ya pa,"pesannya.

Celoteh si bungsu terus terngiang di telingaku. Tidak ! Aku tidak
boleh menyerah. Aku harus pulang hari ini untuk mereka semua. Kalaupun hari ini
aku gagal mendapatkan uang untuk mereka, paling tidak aku ada untuk bersama - sama
dengan mereka. Besok aku akan berjuang lagi agar bisa mendapatkan cukup uang
untuk membelikan kue si adik.

Sore itu aku memasuki rumah dengan langkah gontai karena tidak
berhasil mendapatkan uang sepeserpun. Istriku yang membukakan pintu segera
memelukku. Aku tidak tahu untuk apa pelukan itu. Sore itu di televisi aku
melihat berita tentang seorang tidak dikenal yang membakar diri di depan
istana. Aku hanya bisa tercenung menyaksikannya.

Di sebelahku istriku berkata lirih," Tadi aku takut orang itu
adalah papa."

Tidak istriku. Aku tidak akan menyerah hanya karena telah dibuat
kecewa, frustasi dan marah oleh para "orang besar" itu. Meskipun kita
orang kecil, kita punya kehidupan yang lebih mulia daripada mereka. Dan aku
akan terus berjuang untuk kalian, yang selalu menungguku di rumah.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun