Mohon tunggu...
Richard Sikteubun
Richard Sikteubun Mohon Tunggu... Musisi - Seorang yang tidak pernah menjadi "Saya"

Filsafat mendasari pemikiran, dan dengan input-input dari realitas, mencoba menggambarkan apa yang terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Serigala

29 Januari 2023   11:21 Diperbarui: 29 Januari 2023   11:22 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dahulu kala, hiduplah seekor serigala raksasa di hutan desa”. Aku sudah hampir bosan mendengar cerita tentang serigala raksasa itu. Erick selalu menceritakannya kepadaku sebelum aku terlelap. Aku sebenarnya tidak tertidur karena terhibur oleh ceritanya. Aku tertidur karena terlalu lelah menantikan cerita itu berakhir. Namun untuk menghargai maksud baik kakakku, Aku tidak pernah mengatakan apapun kepadanya. Hanya saja, itu membuatnya menjadi tidak peka. Dia menjadi tidak sadar dengan sikap orang kepadanya. Kadang, orang-orang mulai menunjukkan ekspresi bosan ketika dia mulai bercerita tentang seseorang bernama Marius yang ditemuinya di Gereja di luar desa. Lama kelamaan, orang-orang mulai menunjukkan roman muka tidak enak, bahkan ketika dia belum sempat bercerita. Roman muka tidak enak itu kemudian berubah menjadi teriakan dan ancaman ketika dia mulai membuka mulutnya untuk menceritakkan tentang tokoh utama satu-satunya, Marius. Bukan hanya orang-orang di desa. Bahkan ayah pun seperti mengacuhkan Erick dan tak pernah menganggapnya ada. Mereka tak pernah duduk bersama saat makan. Bahkan untuk saling menyapa, mereka tidak pernah.

Suatu malam ketika hendak tidur, Aku mengajaknya untuk bercerita. “malam ini Aku ingin menanyakan sesuatu kepada Kakak“. Kataku ketika dia hendak bercerita. “kenapa kau ingin bertanya ? Tidakkah engkau ingin mendengarku bercerita ?”. Tanyanya. “tidak. Tidak untuk malam ini Kak. Aku ingin menanyakan sesuatu yang lebih penting”. Kataku semakin memberanikan diri. “apa? Adakah sesuatu yang lebih penting dan lebih menarik daripada ceritaku? Padahal ini adalah sebuah cerita baru. Cerita tentang......”. “serigala raksasa” kataku memotong ucapannya. Dia tampak heran. Dia berdiri dan menunjuk ke arahku dengan pandangan marah. “sekarang beritahukan kepadaku. Siapa yang telah menceritakan cerita itu kepadamu. Apakah Marius yang menceritakannya kepadamu ?”. Matanya menyorot ke arahku. Aku tak dapat membalas tatapan tajam matanya itu. Aku terdiam. Aku sadar telah melakukan sesuatu yang salah kepada kakakku. “kenapa kau tidak menjawab ? Kau akan menanggung akibatnya. Dewa-dewa akan marah kepadamu. Mereka mungkin akan melepaskan serigala raksasa itu dari kandangnya malam ini”. Aku hanya tertunduk.  Erick lalu berjalan keluar kamar. Di luar, dia berteriak ke arah bulan purnama yang tertutup dedaunan pinus yang bertumbuh hampir di seluruh pelosok desa. Dia berguling-guling di tanah dan mengaum seperti serigala. Ayah berlari keluar dan menyeretnya dengan kasar masuk ke dalam rumah. Ayah lalu memukulnya dengan buluh yang Ayah taruh di samping pintu masuk rumah. “dasar anak kurang ajar. Tidak cukupkah engkau mempermalukanku dengan tidak melakukan apa-apa ? Sekarang engkau melakukan sesuatu dan mempermalukanku”. Erick berteriak sejadi-jadinya. Aku hanya duduk terpaku di kamar tanpa bergerak. Aku bukannya tidak ingin menolongnya. Hanya saja, teriakannya itu telah memunculkan banyak gambar di dalam kepalaku, dan itu membuatku tak dapat bergerak. Bahkan kedua mataku tak dapat berkedip.

Aku tidak tahu apakah aku sempat tertidur semalam. Mataku masih terbuka, dan aku masih terduduk di samping tempat tidur. Aku sedikit terkejut melihat Erick berdiri di hadapanku dengan wajah yang bengkak. Bajunya kotor, dan terdapat beberapa sobekan kecil di sana-sini. Dia tersenyum kepadaku dan berkata, “kau tahu ? Semalam serigala itu datang ke sini. Aku berusaha melawannya supaya dia jangan menangkapmu. Ternyata dia tidak sekuat yang aku bayangkan, sebab dia tidak bisa membunuhku. Dia hanya menggigitku beberapa kali dan segera berlari ke dalam hutan, ke arah purnama.” Aku berdiri dan memeluknya. Air mataku menetes membasahi bajunya yang kotor itu. Di dalam hati aku berkata, “maafkan aku kak. Aku begitu menyesal telah membuatmu mendapat hukuman dari ayah.” Dia memegang bahuku dan melihat ke dalam mataku. “Apakah engkau menangis ?”. Aku menundukkan mukaku. “maafkan aku kak. Aku telah bersalah kepadamu”. Kataku lirih. “dewa-dewa telah mendengarmu. Mereka tak akan melepaskan serigala itu lagi. Sekarang, aku mempunyai sebuah cerita yang lebih menarik”. Dia begitu bersemangat. Aku mengusap air mataku. Sambil duduk di tempat tidur, aku bertanya, “cerita cerita tentang apakah itu ?”. Dia melihatku. Kedua bola matanya membesar. Dia lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti memastikan bahwa tidak ada orang lain di sini selain kami berdua. Kemudian dia menunduk sejenak. Tiba-tiba dia menarik tanganku. “ayo”. Kami berdua lalu berlari masuk ke dalam hutan. “jangan beribut”, bisiknya ketika kami mengendap-endap kearah sebuah bangunan tua rusak di dalam hutan itu. Aku tahu ini tempat terlarang. Ibu pernah bercerita kalau bangunan ini dulunya adalah sebuah gereja yang indah. Tetapi ketika perang, gereja ini dihancurkan. Konon, beberapa Imam dan Suster, ikut dibakar di dalam gereja itu. Penduduk desa terutama anak-anak, dilarang pergi ke dalam hutan, apalagi pergi ke bangunan tua bekas gereja itu. Jalan untuk pergi kebun pun dibuat kearah utara untuk menghindarkan orang-orang dari bangunan tua itu, sebab katanya bangunan itu mempunyai kekuatan magis. Kami berdua merayap melalui celah-celah jendela yang telah ditutupi oleh rumput yang telah bertumbuh dengan sangat lebat. Tetapi Erick sepertinya tahu bagaimana cara masuk  karena mungkin dia telah sering ke sini. Di dalam pikiranku, kami pasti akan dimarahi oleh ayah karena telah melanggar peraturan desa. Tetapi di satu sisi aku tidak ingin mengecewakan kakakku lagi. Jika nanti kami dimarahi oleh ayah, aku akan menganggap bahwa ini adalah pembalasan dari apa yang telah aku lakukan kepada kakak semalam. Erick mendudukkanku di atas sebuah kursi kayu tepat di tengah-tengah bangunan itu. Dia menatapku. Tatapannya sangat menakutkan, dan seakan menjadikanku sebuah patung batu. “ Katakan kepadaku, siapa yang menceritakan tentang serigala itu kepadamu “. Tanya Erick. Aku tak menjawab. “Siapa?”. Suaranya makin meninggi. Aku tidak menjawab. Dia tertawa, dan berlari ke arah pintu gereja itu. Dia lalu membentur-benturkan kepalanya ke pintu yang telah rapuh itu, dan kembali berlari ke arahku. Aku melihat ada beberapa goresan yang mulai membengkak karena benturan-benturan tadi. Dia menatapku tepat di depan wajahku. Dia tersenyum. Tetapi senyuman itu perlahan-lahan berubah menjadi sangat menyeramkan, seperti wajah seekor serigala. “SIAPA”, Erick berteriak dengan tiba-tiba. “SIAPA”, dia kembali berteriak. Aku begitu ketakutan, sehingga aku berusaha untuk menjawab, “aku tidak tahu”. “bohong”, teriaknya lagi. “siapa. katakan kepadaku siapa”. “aku tidak tahu” aku balas berteriak, “aku tidak tahu”, aku menangis. “katakan, siapa” Erick masih berteriak. Kali ini dia mengambil sebuah potongan kayu dan memukul-mukulkannya di lantai. Suasana menjadi sangat kacau. Erick masih terus berteriak. Akupun berteriak karena ketakutan. Semua kelelawar yang sementara bergelantungan pada bubungan gereja rusak itu terbang keluar.

“Dia itu anak bulan”, kata ibu beberapa hari sebelum ibu meninggal. “dia lahir ketika bulan purnama pertama dalam tahun itu muncul”. “Aku tahu”, kata ayah sambil membelai rambut ibu. Ibu dan ayah bercerita di kamar mereka. Saat itu ibu sedang sakit, dan aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Ibu lalu menggenggam tangan ayah dan berkata, “jagalah dia untukku”. Ayah mencium dahi ibu. “anak bulan”, kataku dalam hati. memang orang-orang tua di desa ini selalu melakukan segala cara agar tidak melahirkan pada saat bulan purnama muncul. Konon, anak-anak yang lahir pada saat bulan purnama muncul adalah anak-anak serigala. berarti Erick adalah anak serigala. “apakah itu yang membuatnya berteriak dan mengaum-ngaum setiap kali bulan purnama muncul ?, dan apakah itu juga yang membuatnya selalu bercerita tentang serigala raksasa ?”, tanyaku dalam hati. Jadi aku telah bersaudara dengan seekor anak serigala sekarang ini.

“apa yang kau lakukan di sini”. Seseorang berteriak. Sepertinya aku mengenali suara itu. Itu suara ayah. “tidakkah sudah kukatakan kepadamu untuk tidak datang ke sini ?, apakah engkau tak dapat melakukan sesuatu yang berguna ?” ayah begitu marah. Dia menarik tanganku dan menyeretku keluar dari bangunan itu. “jangan ayah, Erick yang mengajakku ke sini”, aku mencoba membela diri. Ayah melepaskan genggamannya. Dia menatap mataku dengan tajam. Matanya begitu menyeramkan. “buka matamu. Coba kau lihat. Siapakah Erick “. Ayah seperti menahan amarahnya ketika mengatakan hal itu. “benar ayah, Erick yang mengajakku ke sini”. “Siapa. Siapa Erick. Buka matamu”, teriak ayah tiba-tiba. Ayah berjalan meninggalkanku. Aku masih mematung, tak percaya dengan apa yang barusan ayah lakukan kepadaku. Baru sekali itu dia berteriak kepadaku. Aku lalu mengejar ayah, tetapi ayah tidak lagi terlihat. Aku berlari keluar dari hutan dan segera masuk ke kampung dan berlari ke arah rumah. Aku ingin meminta maaf kepada ayah. Aku tidak lagi menghiraukan Erick. Apakah dia sudah pulang ataukah belum, aku tidak peduli. Tetapi sepanjang perjalanan pulang, aku seperti menjadi orang lain bagi penduduk desa. Mereka melihatku dengan heran. Pasti Erick ada di sini, pikirku. Aku mencoba melihat-lihat sekitar tetapi aku tidak menemukannya. “tidak, kami tidak ingin mendengar ceritamu. Pergilah”. Kata beberapa orang yang berpapasan denganku. Aku bingung. Bukankah Erick yang selalu bercerita kepada mereka ? Kenapa mereka berkata demikian kepadaku ? Persetan dengan itu. Aku mempercepat langkahku ke rumah. di rumah, aku menemukan ayah sementara duduk di ruang tengah, tempat di memukul Erick semalam. Pecahan piring dan pot bunga semalam pun masih berserakkan di situ. “ayah maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk pergi ke bangunan tua itu. Erick yang mengajakku ke sana”. “buka matamu nak. Siapa Erick”, kata ayah dengan sangat pelan menahan amarahnya. “Ayah, Erick itu kakakku. Aku tahu ayah tak pernah berbicara dengannya, tetapi aku mohon ayah percayalah. Dia bukan anak serigala seperti yang ayah bayangkan”, kataku. Ayah berdiri dan berteriak, “buka matamu nak, Erick. Tidak ada kakakmu yang bernama Erick itu. Kau tidak punya kakak”. Aku terkejut. “tidak ada seseorang di keluarga ini yang bernama Erick, selain kau”, kata ayah sambil kembali duduk. Aku terdiam. “nak, kau adalah anak serigala itu”. Aku berlari keluar. Aku berlari ke dalam hutan, ke arah bangunan tua itu. Aku menangis selama berlari ke sana. Hari telah sore, dan matahari hampir terbenam. Ketika hampir sampai di gereja tua itu, aku berhenti. Aku seperti melihat sesuatu bergelantungan pada sebuah pohon besar di samping gereja itu. Astaga. Ternyata itu Erick. Dia menggantung lehernya pada tali di pohon itu. Dia telah mati. Aku berteriak, tetapi tidak seorang pun datang kepadaku. Mungkin sudah terlalu sore bagi penduduk desa untuk berjalan masuk ke dalam hutan. Lagi pula semua suara yang mereka dengar berasal dari dalam hutan ketika matahari terbenam adalah suara yang mereka yakini sebagai suara serigala. Aku lalu memanjat pohon itu. Tetapi kulihat Erick tidak ada lagi di sana. Aku sadar “Ya. Akulah Erick. Tak ada Erick yang lain. Mungkin itulah seharusnya yang aku lakukan”. Aku menarik tali yang terikat pada cabang pohon itu, dan mengikatnya pada leherku. Aku menutup mata sebelum memutuskan untuk melompat. Sayup-sayup kudengar nyanyian dari dalam bangunan tua itu, Requiem aeternam dona eis. Aku tersenyum. Apakah mereka telah menghantar Erick ke alam sana ? Ataukah mereka hendak menghantarku ? Kita lihat saja. Aku melompat. Leherku tercekik dan aku tak dapat bernapas. Sebelum kesadaranku hilang, aku masih mendengar nyanyian dari gereja tua itu. Domine et Lux Perpetua Luceat Eis.

 

 

“ jika saja kau tahu tentang malam itu.

Malam ketika purnama dalam tahun ini bersinar.

Ketika itu, tak ada satu pun celah di kamarku yang mungkin saja dapat ditembusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun