Mohon tunggu...
Anselmus
Anselmus Mohon Tunggu... Lainnya - Pengajar

Suka pertandingan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Mau Mati!!

14 Juni 2010   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Sekitar tahun 1994

Ayah dari seorang wanita meninggal. Wanita tersebut hanya bisa meraung-raung di dalam kamar, menangisi ayahnya yang telah meninggal. Ia menangis karena tak sempat mendampingi sang ayah menjelang kematiannya, ia menangis karena hatinya sangat dekat berpaut dengan ayahnya, hatinya menangis karena ia sangat jauh dari kampong halamannya ketika ayahnya berpulang. Sang suami tak dapat berbuat banyak melihat istrinya meraung-raung. Ia hanya terdiam di depan ruang tamu, sembari mengusap-usap mata merahnya yang mewakili kesedihan hatinya. Ia sedih bukan karena sang mertua, namun karena sang istri yang bersedih. Sang anak tiba-tiba pulang dari sekolah, terheran-heran melihat mamanya menangis meraung-raung di atas tempat tidur. …………………

“sepertinya mama sering melihat orang yang mati….”

5 November 2000

Kali ini satu keluarga dilaporkan mengalami musibah. Sang ibu dan 1 orang anak meninggal akibat tembakan seseorang yang tak dikenal. Orang itu tiba-tiba saja hadir di depan pintu rumah mereka, menyambut mereka yang baru kembali dari pesta keluarga. Sang ayah berhasil luput dari kematian, meskipun mengalami cedera yang cukup membuatnya harus berbaring di RS untuk beberapa waktu. Sakit yang dalam dirasakannya lebih Karena ia telah kehilangan dua buah hatinya secara tragis. Namun ia tetap berusaha tegar. Latar belakang militer telah membantunya membuat hati menjadi keras, beku menghadapi goncangan-goncangan yang menimpa hidup. Terlalu sering ia mendengar peluru berdesing di telinganya, tak terhitung ia melihat rekan-rekannya merenggang nyawa di medan perang. Dingin sudah hatinya..pikirnya. sampai ia akhirnya mengetahui bahwa sang pelaku penembakan adalah teman dari anaknya yang sedang bersekolah di luar kota. Sampai akhirnya ia menemukan, setelah polisi mengadakan penyelidikan lanjutan, bahwa anaknya itulah yang menyuruh temannya untuk menghabisi nyawa keluarganya. Hati bekunya sekarang benar-benar beku. Tak ada yang mampu mengobati semuanya sekarang. Ia hanya rindu agar dengan cepat ia meninggalkan dunia ini, bertemu dengan ketiga anggota keluarganya, dua terbunuh oleh yang satu.

Haiti

Kali ini sebuah stasiun televisi swasta lokal melaporkan peristiwa yang menyesakkan hati. Seorang anak kecil, berumur sekitar 7 tahun, berjenis kelamin wanita, melihat dengan kepalanya sendiri, bagaimana sang ayah tewas tertimpa reruntuhan bangunan ketika gempa datang menghampiri daerahnya. Sang anak berhasil melarikan diri, namun sang ayah gagal. Yang tersisa, ketika gempa berakhir, hanyalah potongan tangan ayahnya yang berhasil terlindungi dari reruntuhan. Tubuhnya, hancur remuk. Sang anak, yang awalnya berteriak-teriak sedih, bercampur takut, tak lama kemudian terdiam. Ia terdiam oleh suara tangisan lain yang menggema di seantero tempat tinggalnya. Ia tak sendiri rupanya. Ada yang menemaniku rupanya.

India, Mei 2003

Seorang pelacur ditemukan meninggal dunia di bawah reruntuhan rumahnya, yang sengaja ia bakar. Tak tampak lagi rupa manisnya yang memikat beberapa ratus pria belakangan ini. Tak elok lagi rupanya. Tak hanya rupanya, namun hidupnya ternyata tak elok. Bukan karena statusnya sebagai seorang pelacur ketika ia ditemukan, namun kisah di balik kehidupan sebelum kematiannyalah yang membuat tak ada wajah yang mampu memandangnya. Belum genap 20 tahun ketika ia diperkosa oleh kekasihnya, dan belum genap 1 bulan semenjak peristiwa pemerkosaan itu, ketika ia dibawa oleh kekasihnya, yang mengaku merasa bersalah, untuk bekerja di sebuah rumah makan. Rumah makan yang menyediakan makanan spesial. Tertulis disana: “Menu spesial, masakan yang akan terus membuatmu lapar”. Di rumah bordil itulah sang wanita meretas karier gemilangnya sebagai primadona. Dalam catatan hariannya ia menuliskan:

“Aku menulis Karena aku mau mati. Aku ingin menjemput para pria-pria itu, yang menghancurkan hati banyak wanita, istri dan anaknya, kepada kematian mereka. Aku mengidap AIDS sejak hari pertama aku menjadi pelacur kelas atas.”

Buku harian ini membuka kisah-kisah perih lainnya. Dilaporkan, 4 hari setelah ditemukannya buku harian sang pelacur, ratusan pria secara tak terkontrol, melakukan cek darah di 3 rumah sakit setempat. Tak umum terjadi di kota itu pria melakukan cek darah. Sang wanitalah yang biasanya selalu berinisiatif untuk melakukan cek darah. 1 minggu kemudian. Gelombang besar menghampiri kota itu. 73 orang pria ditemukan tewas bunuh diri dalam rentang waktu satu minggu di kota itu. Mereka semua terjangkit AIDS.

Aku mau mati!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun