SALAH SATU NILAI BUDAYA SIMALUNGUN YANG HAMPIR PUNAH : Urdou-urdou!
Oleh : Richardo. Saragih
Sangat menarik diskusi yang dibawakan oleh Leonardo D Sipayung pada saat rapat rutin Ikatan Mahasiswa Simalungun Universitas Sumatera Utara (IMAS-USU) Jumat, 9 Maret 2012. Beliau mengangkat tema mengenai perbandingan nilai budaya barat dengan budaya timur, secara khusus budaya simalungun. Di akhir diskusi diambil kesimpulan bahwa punahnya suatu budaya disebabkan karena lemahnya transfer nilai-nilai budaya tersebut kepada generasi berikutnya.
Jika disinggung masalah transfer nilai-nilai budaya, maka terdapat dua kelompok yang terlibat di dalamnya, yaitu : orang yang mentransfer (pentransfer) dan orang yang menerima (penerima). Proses transfer ini dapat berjalan dengan baik apabila kedua kelompok saling bersinergi. Ada yang memberi tanpa ada yang mau menerima, maka hal tersebut akan menjadi sia-sia, demikian juga sebaliknya ada yang telah siap menerima namun tidak ada yang mentransfer, hal ini pun ibarat bertepuk sebelah tangan.
Pengalaman yang saya lihat dan perhatikan di antara orang simalungun, sebenarnya yang ingin mentransfer (orang tua) nilai-nilai budaya simalungun masih banyak. Namun sepertinya kebanyakan generasi muda saat ini tidak terlalu perduli lagi akan pelestarian budaya daerahnya, baik itu dari bahasanya, adat istiadatnya, juga keseniannya. Hal ini dapat saya lihat dalam pergaulan sehari-hari dengan pemuda-pemudi GKPS yang katanya simalungun. Saya berkomunikasi dengan bahasa simalungun, namun tetap disahut dengan bahasa Indonesia, saya lanjutkan kembali percakapan, tetap saja direspon dengan bahasa Indonesia. Dari pengalaman ini saya menyimpulkan, sebenarnya bukan karena tidak memahami, karena terbukti dia dapat merespon apa yang saya maksudkan. Yang paling menyedihkan hati saya, sebagian diantara mereka adalah teman-teman saya dari kampung. Barangkali mereka berpandangan sudah tidak zaman lagi memakai bahasa daerah sebagai alat komunikasi di kota atau karena gengsi, dll. Secara pribadi saya berpikir bahwa bahasa simalungun sebagai salah satu dari 742 bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah aset bangsa yang tidak ternilai harganya. Harian Kompas, 11 Agustus 2008 mencatat bahwa dari 742 bahasa daerah di Indonesia, hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang. Artinya, terdapat 729 bahasa daerah lainnya yang berpenutur di bawah satu juga orang.Di antara 729 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang. Hasil seminar danpagelaran budaya simalungun yang diadakan oleh IMAS-USU pada 22 Oktober 2011, dari makalah yang dibawakan oleh Bapak Prof. Amrin. Saragih bahwa bahasa simalungun masuk dalam skala hampir punah. Marilah sebagai generasi muda merenungkan hal ini dan segera mengambil sikap untuk pelestarian bahasa simalungun.
Kembali ke judul yang di atas, SALAH SATU NILAI BUDAYA SIMALUNGUN YANG HAMPIR PUNAH : Urdou-urdou!. Urdou-urdou ialah lagu yang dulunya biasa dinyayikan oleh seorang ibu di simalungun untuk menidurkan bayinya sambil menggendong bayi tersebut. Pada masa sekarang ini sudah sangat jarang saya mendengar seorang ibu menyanyikan lagu ini saat ingin menidurkan bayinya. Adapun lagu yang sering kali saya dengar dinyanyikan oleh mereka adalah “Nina bobo, o nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk”.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa dokter menyarankan ibu-ibu hamil untuk mendengarkan musik dan lagu klasik selama masa kehamilannya. Hal tersebut untuk merangsang otak bayi yang sedang dalam kandungan. Saat dalam kandungan sekalipun, seorang calon bayi sudah harus dirangsang otaknya dengan harapan agar kelak menjadi anak yang sehat dan cerdas. Dari hasil penelitian tersebut, saya berpendapat bahwa tidak cukup sampai pada saat masih di dalam kandungan, namun saat telah lahir pun otak bayi tersebut harus tetap dirangsang.
Ada hal yang menarik yang saya lihat dari ibu-ibu simalungun pada zaman dahulu. Mereka yang belum tahu tentang penelitian tersebut namun telah lebih dahulu melakukan praktiknya terhadap bayinya dengan menyanyikan urdou-urdou untuk menidurkan bayinya. Saya melihat ada transfer nilai-nilai budaya yang baik yang dialami oleh ibu-ibu simalungun yang dulu dengan pendahulu mereka.
Makna dan nilai dari urdou-urdou
Berdasarkan diskusi yang saya lakukan dengan beberapa orang tua (simalungun) mengenai urdou-urdou ini banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Demikianlah lirik dari lagu urdou-urdou tersebut:
Ur . . . ma lo dayok ....., Ur . . ma lo dayok (sampiran)
Modom ma ham, na modom anakku/ boruku (tidurlah ya anakku/ putriku)
Ulang be ham ringisan (jangan lagi menangis)
Ur . . . ma lo dayok ....., Ur . . ma lo dayok (sampiran)
Podas ma ham marganjang anakku/ boruku
(cepatlah besar ya anakku/ putriku; raihlah cita-citamu setinggi-tingginya ya nak)
Marganjang hansa hotang
(panjang seperti panjangnya rotan, yang terus semakin panjang)
Pori pe ham marganjang anakku/ borukku
(tapi anakku/ putriku, kalaupun kamu menjadi orang besar nantinya)
Ulang sundol bukkulan
(jangan karena panjangnya sampai merusak asbes rumah; janganlah sampai kebesaranmu membuat orang lain tergangggu atau tidak menjadi berkat)
Ur . . . ma lo dayok ....., Ur . . ma lo dayok (sampiran)
Podas ma ham marbaggal anakku/ boruku
(cepatlah besar ya anakku/ putriku; raihlah cita-citamu setinggi-tingginya ya nak)
Marbaggal hansa hobon
(besar seperti lumbung padi yang siap sedia saat musim paceklik menimpa)
Pori pe ham marbaggal anakku/ boruku
(tapi anakku/ putriku, kalaupun kamu menjadi orang besar nantinya)
Ulang sukkot i labah
(janganlah karena begitu besarnya lumbung, sampai merusak pintu agar lumbung tersebut dapat dibawa keluar dari rumah; janganlah kiranya kiranya kesuksesanmu membawa petaka bagi lingkungan sekitarmu)
Ur . . . ma lo dayok ....., Ur . . ma lo dayok (sampiran)
Selain lagu yang dinyanyikan untuk menidurkan anak, lagu ini juga merupakan doa dan harapan seorang ibu bagi anaknya kelak saat dia sudah menjadi dewasa.
Begitu indahnya alunan lagu ini beserta kandungan nilai dan doa yang terdapat dalamnya. Apakah kita sebagai orang-orang muda simalungun tidak ingin menggali lebih banyak lagi akan nilai-nilai budaya simalungun yang bermakna positif dan membangun. Atau apakah kelak kita masih saja menyanyikan lagu “nina bobo, o nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk” pada generasi kita. Dari segi liriknya kalau kita kaji lebih pada pemaksaan atau diancam agar si anak jangan menangis dan segera tidur, karena kalau tidak akan digigit nyamuk. Tapi secara pribadi, saya akan menyanyinkan lagu urdou-urdou ini bagi generasi saya nantinya, dan kelak setelah ia dewasa tidak lupa juga saya akan sampaikan padanya nilai-nilai yang terkandung dalam lagu tersebut. Karena sering sekali kita menganggap sepele sesuatu hal sebagai akibat ketidakpahaman kita akan hal tersebut. Tak kenal maka tak sayang, sudah kenal pun bisa saja tidak sayang. Ur . . . ma lo dayok! Dodingkon hita . . .. . .
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi USU dan menjabat sebagai Koordinator Umum Ikatan Mahasiswa Simalungun Universitas Sumatera Utara (IMAS-USU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H