Jakarta membangun merupakan topik yang secara semantik memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. Kata membangun biasanya digunakan untuk mensintesakan suatu kondisi yang tidak agresif, penuh dengan kegelisahan, kekalahan dan kelelahan. Kita bisa melacak ini berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonsia yang menekankan kepada kata bangkit. Orang yang mampu mengatasi segala kegagalan dan  keterpurukan kita dapat mengatakan sebagai sebuah  kebangkitan. Membangun menjadi sebuah kata pemicu melahirkan sebuah kebangkitan.
Jakarta membangun adalah sebuah diskursus yang menawarkan sebuah antusias kebangkitan. Bangkit dari keterpurukan multi masalah yang selama ini menjadi pergumulan kota ini. Selama 488 tahun kota Jakarta mengalami berbagai kondisi. Â Kondisi yang membuah wajah Jakarta mengerut. Berbagai obat sudah diminum. Hasilnya? Sembuh di satu penyakit justru timbul penyakit yang lain. Seolah-olah obat tersebut bukan untuk menyembuhkan, tetapi justru menjadi racun yang membuat penyakit mengalami multiplikasi bahkan berakhir pada komplikasi.
Jakarta membangun bukanlah sebuah pemeo sumbang. Senantiasa dikumandangkan tetapi berakhir pada olok-olokan. Visi dan misi yang senantiasa didengungkan pemimpin ibukota selalu memberikan harapan untuk terjadinya perubahan. Memang sulit untuk melakukan perubahan secara revolusioner.
Jakarta membangun menjadi sebuah terminologi penegasan bahwa Jakarta memang sudah bangun. Â Sebagai kota yang sangat pluralisme, Jakarta membutuh waktu kurang lebih 486 tahun untuk melahirkan Gubernur yang bukan putra daerah dan beragama mayoritas di Kota ini. dialektika pro kontra mengenai legitimasi Gubernur yang bukan putra daerah dan beragama mayoritas memang sulit untuk ditepis. tetapi harapan agar Jakarta bangun dari pikiran dogmatis primordial pelan-pelan mulai tergerus oleh pandangan rasional terhadap kinerja pemimpin yang memberikan hasil kinerja bukan janji perubahan yang sifatnya retoris.
Basuki Tjahaja Purnama menjadi aktor pendorong aktualisasi kinerja bukan sekadar intelektual Teoritis. Banyak perubahan yang bersifat progress yang dihasilkan oleh Ahok. Banjir dapat diminimalisir. Bukan karena dia seorang ahli tata kota yang mapan konsep teoritis, tetapi dia berhasil membangun Jakarta lebih baik karena sebagai sebuah eksekutor  yang tegas.
Sebagai warga Jakarta yang terdidik dan rasional. Dimana empiris menjadi dasar untuk legitimasi kebenaran. Harusnya, kita sebagai warga dapat melihat perubahan secara empiris yang ditunjukan oleh Pak Ahok. Sekali lagi, kerja keras tidak akan mengkhianati hasil. Yakinlah bahwa Jakarta akan semakin bangkit kita percaya pada kinerja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H