Mohon tunggu...
Richard
Richard Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa semester 3 yang berusaha untuk mengikuti ritme perkuliahannya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pertanggungjawaban atas Penggelapan Pajak menurut Undang-Undang KUP

18 Januari 2024   21:47 Diperbarui: 18 Januari 2024   21:47 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu penerimaan negara bersumber dari pajak. Pajak merupakan pungutan resmi negara kepada warga negara wajib pajak. Pemungutan pajak diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 yakni dalam Pasal 23A UUD 1945. Di dalam Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, berdasarkan UUD 1945, pengaturan mengenai pajak diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam penyelenggaraan pajak adalah penggelapan pajak. Hingga saat ini, banyak kasus penggelapan pajak terus terjadi dikarenakan perilaku dari wajib pajak yang tidak patuh atas kewajiban perpajakannya. Penghindaran pajak dibagi atas 2 yaitu Tax Avoidence dan Tax Evasion. 

Tax Avoidance adalah upaya menghindari kewajiban perpajakan dengan memanfaatkan celah hukum yang ada. Pada dasarnya, Tax Avoidance ini sah dan tidak melanggar ketentuan perpajakan, namun hal ini cukup merugikan negara dari sisi penerimaan perpajakan. Tax Evasion adalah pelanggaran dalam perpajakan dengan melakukan skema penggelapan jumlah pajak yang harus dibayarkan, bahkan beberapa oknum berusaha untuk tidak membayar kewajiban perpajakannya sama sekali. Sebagai contoh kasus yang kerap dilakukan adalah wajib pajak yang tidak melaporkan sebagian atau bahkan seluruh penghasilannya dalam SPT.

Pemerintah sudah mengeluarkan ketentuan untuk menanggulangi terjadinya Tax Avoidance  dan Tax Evasion. Untuk Tax Avoidance terdapat ketentuan Anti-Thin Capitalization, pemerintah mengarahkan wajib pajak untuk memperbesar pinjaman dan bukan modal untuk dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba. Hal ini dapat mengecilkan kewajiban perpajakan karena dalam SPT, wajib pajak wajib melaporkan profit dan juga liabilitasnya, Laba yang semakin kecil dan terdapat utang bunga bisa mengecilkan besaran pajak terutang. 

Dalam menanggulangi Tax Evasion,  DJP sebagai otoritas perpajakan Indonesia melakukan penegakan hukum bagi wajib pajak yang melakukan penggelapan perpajakan. Penegakan hukum ringan bisa dikenakan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran administrasi. Dalam pengelolaan perpajakan di indonesia mengedepankan asas ultimum remedium, yaitu menjadikan sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam permasalahan perpajakan, sanksi pidana dapat dikenakan untuk penegakan hukum berat.

Di Indonesia, ketentuan mengenai perpajakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Undang-Undang KetentuanUmum Dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP). Penggelapan Pajak yang masuk dalam kategori tindak pidana pajak yang juga termasuk dalam tindak pidana khusus. Akan tetapi, perlakukan tidak sama dengan tindak pidana korupsi yang memeliki sifat luar biasa "extra ordinary crime" sehingga memerlukan penyelesaian secara luar biasa pula. Hal ini tidak terdapat dalam tindak pidana pajak karena terikat pada asas hukum"ultimun remedium" yang menunjukkan bahwa penerapan sanksi pidana wajib dilakukan pada tahap terakhir.

Pasal 38 UU KUP mengatur mengenai kealpaan atau kelalaian, dan hanya terbatas pada penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) secara tidak benar atau tidak lengkap. Kealpaan dalam hal ini merupakan ketidak sengajaan, terjadinya kelalaian, tidak berhati-hati dalam menyampaikan SPT, atau kurang mencermati kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat berdampak terhadap kerugian pendapatan Negara yang berasal dari pajak.

Dalam pasal 39 ayat (1) dan 39A UU KUP mengatur mengenai delik yang dilakukan dengan unsur kesengajaan (dollus). Dalam pasal 39 ayat (1) UU KUP menitikberatkan terhadap orang atau badan hukum yang melalaikan kewajiban perpajakannya, sehingga unsur utama dalam pasal ini yaitu: Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang atau badan hukum; karena dengan kesengajaan; menimbulkan kerugian terhadap pendapatan Negara. Sejalan dengan rumusan pasal 39 ayat (1), pada ayat (2) mengarah terhadap pengulangan delik atau recidive yang juga diancam dengan sanksi pidana. Dalam pasal 39 ayat (3) bertujuan untuk mengatur mengenai delik percobaan yang hanya meliputi suatu perbuatan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP dan/atau NPPKP.

Sedangkan dalam pasal 39A merupakan delik kesengajaan yang menitik beratkan terhadap kewajiban wajib pajak (WP) sebagai pemotong atau pemungut pajak (termasuk PPN dan PPh pemotongan maupun pemungutan). Pasal ini mencantumkan tidak adanya pembuktian terhadap pendapatan Negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun