Pemilihan Umum (Pemilu) lazim disebut pesta rakyat. Pesta rakyat mengandaikan tuan pesta adalah rakyat. Rakyat mengadakan hajatan kompetisi dengan menyediakan panggung dan menjadi wasit/yuri atas kompetisi perebutan kekuasaan oleh para Capres/Cawapres dan para Caleg. Â Di atas panggung yang disebut Pemilu itu, para Capres/Cawapres dan para Caleg akan dinilai oleh rakyat dengan memberikan keputusan politik. Capres/Cawapres dan para Caleg yang dinilai layak akan dipilih sebagai pemenang dan yang tidak layak akan 'dihukum' dengan tidak memilih mereka. Demikian Pemilu secara normatif diartikan sebagai moment sirkulasi kekuasaan oleh rakyat.
Namun sampai saat ini, saya sulit menemukan alasan yang kuat bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) adalah pesta rakyat. Pemilu yang diadakan untuk tujuan luhur kerap menjadi medan konflik dan ajang pertempuran yang memakan korban. Hal ini terlihat di beberapa daerah ketika beberapa Caleg menjadikan Pemilu sebagai panggung demonstrasi kemenangan yang memantik konflik dan gesekan. Terhadap hal ini saya berhipotesis bahwa Pemilu adalah pesta pora para elit.
Di beberapa tempat, pawai kesiangan justru memalukan. Pawai tersebut tidak hanya menimbulkan gesekan melainkan juga rasa malu yang mendalam karena pawai kemenangan tersebut sebenarnya adalah pawai kekalahan setelah perhitungan suara usai. Pawai itu tak ubahnya dengan pawai kesiangan oleh barisan orang-orang kalah karena ternyata suara yang dikumpulkan tidak cukup mendapatkan 1 kursi berdasarkan perhitungan suara saat pleno. Malu bukan? Namun, bukan rasa malu yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini, melainkan tingkat urgensivitas pawai kemenangan dan seberapa pentingnya.
Pawai kemenangan para Caleg di beberapa daerah melibatkan masyarakat (tim sukses) sejatinya adalah indikasi social power yang merupakan tantangan besar di negara kita. Pawai kemenangan adalah ungkapan glorifikasi terhadap seorang Caleg pemenang dan bersamaan dengan itu adalah demonisasi Caleg lain yang terpuruk karena kekalahan. Social power dapat digunakan oleh Caleg pemenang dengan cara memanfaatkan posisi kemenangannya untuk memengaruhi atau mengendalikan perilaku, pendapat, atau tindakan masyarakat.
Ketika sebuah entitas masyarakat diarahkan dan dikendalikan oleh glorifikasi kemenangan dan euforia yang berlebihan maka potensi konflik terbuka lebar. Siapa yang bisa menjamin jika glorifikasi kemenangan akan mengabsenkan demonisasi kepada orang-orang kalah? Kelaziman fakta di negeri ini membenarkan pernyataan di atas. Bahwasannya setiap sorak-sorai kemenangan di ruang publik selalu disertai dengan olok-olokan kekalahan. Konflik justru tumbuh dan hidup di kondisi ini.
Apabila pawai kemenangan para Caleg permisif dengan situasi ini maka sebaiknya setiap kemenangan mesti dikendalikan dan tidak harus didemosntrasikan melalui pawai. Dan memang untuk apa merayakan kemenangan kalau pun kemenangan dirajut dengan proses politik yang keliru. Sama halnya dengan merayakan kemenangan haram.
Dalam kondisi seperti ini, kita dan khususnya para Caleg perlu mengontrol sirkulasi kekuasaan yang sedang berjalan agar dinamisme kehidupan komunitas tetap berjalan sesuai dengan regulasi. Kemampuan para Caleg mengakses social power hendaknya digunakan untuk mengendalikan situasi fragmentasi di masyarakat yang muncul sebagai akibat dinamika politik lokal. Kita berharap agar semua kekuatan di ruang publik tetap siap siaga menjaga dinamika politik akibat sirkulasi kekuasaan lewat motivasi rasionalitas yang kritis dan suportif, bukan sebaliknya terjebak dalam glorifikasi dan euforia kemenangan yang rentan terhadap konflik dan perpecahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H