Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen: Sarung yang Memenjarakan

14 Mei 2020   10:32 Diperbarui: 14 Mei 2020   10:31 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembayung senja bergelayut di sepanjang garis laut, sementara mendung muncul sporadis di beberapa sudut langit yang menua, pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Kujejaki pantai itu lagi. Pantai yang sering kulepaskan permintaan mata ketika senja merambat.

Gumpalan pasir pantai masih kugenggam erat. Pikiran masih berkelana meraba-raba sepotong janji yang kemarin dia bisikan ke telingaku ketika magrib tiba. Yah, dia Sumarni. Gadis lugu yang pernah menghangatkan hati ketika dingin menguliti sekujur tubuh kala menikmati senja bersamanya. Pancaran matanya hangat, lebih hangat dari matahari. Di tengah matanya ada telaga yang memuaskan dahaga.

Besok lebaran telah datang, tetapi sarung lusuh yang saya pakai sudah robek. Kalut semakin menjadi-jadi kalau saja besok tidak bisa Lebaran bareng teman hanya karena tanpa sarung. Hidup bersama si janda miskin, semua pendapatan dari jasa ojek tak menyanggupi aku untuk membeli sarung Lebaran.

Senja makin memucat. Angin laut menusuk dingin tetapi aku masih setia menunggu. Kaki kutahan untuk segera bergegas pergi. Di ujung pantai, para nelayan buru-buru menambatkan perahu sebelum suara adzan memanggil. Gadis itu juga tak kunjung datang sementara kecemasan makin mendayu-dayu bersama gulungan ombak yang datang dan pergi.

Penantian ini sesungguhnya bukan hanya karena sepotong sarung. Tetapi ada juga sepotong rindu yang menabuh jantung ini berkali-kali. Sumarni, kapan kau tiba lalu mengeruk isi jantungku yang hampir saja meledak ini? Jangan-jangan seutai janjimu kemarin hanya bualan cerita Abu Nawas semata? Aku masih ingat bibirmu yang kau basahi ketika kau takut berjanji. Akankah ketakutanmu itu terbukti benar?

Sedang aku bertanya-tanya di balik gulungan ombak, sepasang camar membuyarkan lamunanku. Akan kusudahi saja penantian tak berguna ini. Butiran pasir kubuang dengan kesal seraya bangkit berdiri.

Biar sudah. Besok akan kupakai lagi sarung tua yang dicampakkan si janda miskin itu di balik jerami. Tak masalah, itu pemberian janda miskin yang merahimi aku. Biar kupakai sarung itu lagi sebagai kenangan sebelum ajal menjemputnya pergi.

"Sumarni, kau telah menipu saya," ucapku kesal membatin. Rupanya Sumarni adalah satu dari barisan wanita yang doyan mengkhianati para tukang ojek di dunia ini.

"Kau tak ubahnya dengan gadis lain yang suka membuat lelaki bergulat dengan perasaannya sendiri."

"Ini bulan puasa, aku tak boleh melanjutkan sumpah serapah ini," ucapku membatin lalu pergi.

 Seperti pohon dan tiang listrik membenturi wajahku. Aku tak percaya. Ya Allah, makhluk apa yang Kau hadirkan di depan mataku ini? Tubuh molek itu berdiri tegak di depanku. Sejurus aku terhenyak. Percikan kebeningan kasihnya mengalir di mataku,menjalar jauh ke ceruk rasa. Tak kuasa kudangakkan kepala.

"Kaukah itu Sumarni?", ucapku lirih.

"Kau pikir aku sama seperti gadis masa kini yang memoleskan bibir dengan janji ilusif tak bermakna?" Jawabannya seakan menggelegar memenuhi batok kepalaku yang sejak tadi diracuni pikiran kotor.

"Aku sengaja tak menepati waktu yang telah kujanjikan. Hanya untuk tahu semahal apakah kesetiaan itu di matamu Ismael," bisiknya sambil membaluti sepotong sarung Lebaran ke leher dekilku.

"Ini kado Lebaranku untukmu, bukan pinjaman yang seperti kau minta. Sarung ini kau pakai besok dan simpan untuk kita ceritakan ke anak cucu kita bahwa janji Lebaran itu tak sesederhana yang diucapkan para bujang di kalanganmu."

Aku tahu Sumarni menyindirku. Memang di jaman ini, janji sama dengan bualan. Janji Lebaran mengalami distorsi makna. Janji itu tak sedalam makna yang pernah diajarkan para ustad dan kyai.

Kata-katanya kurasa bagaikan pisau menghunus jauh ke jantungku. Tetapi di balik kata-katanya yang pedas, aku mudah temukan kebahagiaan. Yah, seperti Jibril yang membawa berita gembira 'zamzam' di kaki Ismail.

Inikah surga cinta yang diceritakan banyak orang? Aku masih diam seribu bahasa. Perlahan-lahan senja menguliti kami. Jarum-jarum gerimis menancap di tubuh kami dan suara adzan mulai memanggil.

"Terima kasih sayang," aku memecahkan kesunyian.

"Maafkan aku. Sedari tadi aku telah memenjarakanmu dalam pikiranku yang kotor. Percayalah. Tak akan kulakukan coretan hitam pada kanvas cintamu seperti para bujang di zaman ini."

Senja telah jatuh dan mengurung kami. Rindu yang berjilid-jilid sudah kami kepak dan aku berharap cinta yang tersembunyi di kedalaman matanya akan membekali hidup kami.

"Ismael...Ismael...Ismael....!." Panggilan keras janda tua seketika membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat kusembunyikan sarung pemberian Sumarni, sarung yang mencerminkan pemberian cinta absolut yang sukar ditemukan masa ini.

"Janganlah kau siksa dirimu dengan terus menerus melihat sarung pemberian almarhumah. Itu hanya membuatmu sulit mengenal gadis lain. Sampai kapan kamu begini Is? Aku sudah tua dan aku ingin mendapatkan cucu sebelum aku mati."

"Siapkan dirimu untuk sholat. Doakan saja Sumarnimu, dia telah bahagia bersama Allah," tutup janda itu.

Benar juga kata ibuku yang janda itu. Sarung ini sering memenjarakan aku bersama perasaanku. Sarung ini pula membuatku gagal mengenali gadis lain selain dia. Aku harus bangkit meskipun kisah tua bersama almarhumah Sumarni masih menyiksa.

"Sumarni...Kau telah menipu aku. Sarung yang ujungnya kau belitkan di leherku, yang mungkin suatu saat bakal jadi ayunan anak-anak kita, hanya menjadi tanda perpisahanmu denganku. Semoga kau bahagia di alam sana," doaku membatin, sembari menuju surau depan rumah reyotku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun