(Samber 2020 Hari 3 & Samber THR)
Masyarakat Flores dan mungkin masyarakat lainnya sesungguhnya sedang menjerit dalam ketidakpastian hidup. Ada dua jenis ancaman yang sedang menggerogoti daya survive penduduk Flores saat ini yakni virus corona dan krisis ekonomi. Goal dari dua ancaman ini adalah kematian. Itu pasti dan tak terbantahkan. Bahkan sebuah paradoks tengah muncul di hadapan kita, ancaman kematian muncul di bulan kemenangan, yah, bulan suci Ramadan.
Di tengah kegelisahan global terhadap dua ancaman tersebut, penduduk Flores atau mungkin juga daerah lain disuguhi realitas fluktuasi harga yang tak menentu. Naik-turunnya harga barang membuat skala kegelisahan di era pandemi ini semakin menggila.
Masyarakat sesungguhnya dihadapkan pada pilihan dilematis, mencari uang dengan cara melanggar perintah lock down dan social distance sama saja dengan menjual nyawa. Begitupun bila mereka loyal terhadap dua tipe karantina tersebut sama saja dengan berpasrah menunggu kematian tiba. Sungguh pilihan yang simalakama. Upaya pencarian prinsip minus malum terhadap kedua pilihan dilematis itu pun sulit ditemukan sebab keduanya sama-sama baik dan berbahaya. Di satu sisi lock down dan social distance menghindarkan manusia dari wabah corona tetapi di sisi lain juga membatasi ruang gerak perekonomian.
Fenomena fluktuasi di Flores sudah nyata. Di beberapa pasar yang penulis jumpai di pulau Flores, harga sembako merangkak naik pelan, disusul pula harga barang kebutuhan lainnya yang ikut menanjak. Bahkan di pelosok pedesaan, harga barang jauh lebih mahal di tengah hidup masyarakat yang 'pas-pasan'dibandingkan dengan daerah kota dan sekitarnya.
Di Ende misalnya, sebelum puasa pada 3 April lalu, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Subhan Wanda telah mengakui adanya kenaikan harga sembako di Ende meskipun tidak signifikan (kupang.tribunnews.com).
Kabupaten lain yang juga mengalami lonjakan harga adalah Ngada. Di kelurahan Nangamese, kecamatan Riung, beras yang sebelumnya Rp.12. 000 melonjak hingga R.15.000.
Sementara di Kabupaten Nagekeo, kecamatan Wolowae, khususnya di desa Natatoto, hampir setiap barang mengalami kenaikan meskipun tidak signifikan. Gula pasir sebelumnya Rp.17.000 merangkak naik menjadi Rp.20.000 per kilo, rokok djitoe sebelumnya Rp.10.000 naik menjadi Rp.12.000 per bungkus dan tepung beras per kilo dari Rp.8.000 menjadi Rp.10.000.Â
Demikian pula di kabupaten lainnya di FLores, ada fenomena fluktuasi sembako dan barang-barang kebutuhan lainnya pada masa pandemi dan bulan Ramadan. Kenaikan harga sembako dan kebutuhan lainnya ternyata tidak seiring dengan harga jual komoditi. Harga komoditi justru menurun drastis.
Pedagang-pedagang nakal justru banyak ditemukan di pelosok kampung di pulau ini. Pertanyaan yang menggelitik adalah apa yang menyebabkan pedagang di kampung tiba-tiba menjadi nakal? Memang rasionalisasi alasan bisa dibangun. Sebagai misal, harga transportasi atau mobilisasi ke pelosok yang membutuhkan tambahan biaya. Namun demikian, tidak serasional itu peningkatan harga yang ditentukan oleh pedagang kampung.