Mohon tunggu...
Richa Miskiyya
Richa Miskiyya Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Perempuan biasa dengan kehidupan biasa, namun selalu menganggap jika kehidupannya itu luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penguatan Industri Kreatif dan Digital, Langkah Pasti Hadapi Bonus Demografi

21 September 2016   23:49 Diperbarui: 21 September 2016   23:54 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Industri Kreatif dan Digital (Sumber : www.scoop.it)

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia per 2015 sebanyak 255.461.700 penduduk. Angka ini menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, berada di bawah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Jumlah penduduk yang banyak ini seyogyanya bisa menjadi sumber daya andalan bagi Indonesia, apalagi pada periode 2020-2030 mendatang diperkirakan Indonesia mendapatkan bonus demografi atau gelombang pertambahan penduduk usia produktif (15-64 tahun) hingga 70%.

Adanya ledakan penduduk ini tentunya diharapkan menjadi mesin penggerak untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Harapan ini pastinya akan menjadi kenyataan apabila didukung dengan persiapan serta strategi untuk menghadapinya. Apabila tak ada persiapan, maka jangan salahkan takdir, jika kelak bonus demografi menjadi bumerang yang justru akan menggoyahkan perekonomian negeri ini.

Skill dan Peluang Kerja

Salah satu hal yang harus diperhatikan untuk menghadapi adanya bonus demografi ini adalah lapangan pekerjaan. Bayangkan saja, apabila 70% rakyat Indonesia berada di usia produktif namun tak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Hal ini tentunya menjadi beban bagi bangsa ini, bukan hanya beban ekonomi, tetapi juga beban sosial karena pengangguran, dan tidak mungkin bisa menyebabkan semakin tingginya tingkat kriminalitas di tengah masyarakat.

Menurut data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2016 sebanyak 7,02 juta orang. Pengangguran lulusan SD sebesar 3,44%, SMP sebesar 5,76%, SMK sebesar 9,05%, SMA sebesar 6,95%, dan pengangguran lulusan universitas sebesar 6,22%.

Jika pengangguran lulusan SD hingga SMA kemungkinan besar disebabkan oleh rendahnya ijazah yang tidak memenuhi kualifikasi lowongan pekerjaan. Lalu bagaimana dengan para lulusan universitas yang sudah pasti memiliki ijazah mentereng?

Hal ini tentunya menjadi ironi, ketika duduk di bangku SD, cita-cita anak adalah menjadi dokter, insiyur, polisi, dan beragam profesi lainnya. Namun, ketika mereka sudah lulus kuliah, cita-cita itu berubah menjadi ‘apapun pekerjaannya, yang penting halal’.

Mencari pekerjaan saat ini memang sulit, lihat saja ketika ada bursa kerja, ribuan orang berbondong-bondong datang dan melamar, belum lagi ketika ada pembukaan lowongan pegawai negeri sipil, ada jutaan orang yang mendaftar. Pada penerimaan Pegawai Negeri Sipil tahun 2014 lalu, tercatat pemerintah hanya menyediakan 100.000 lowongan saja, namun jumlah pelamarnya membludak hingga lebih dari 2,6 juta pelamar.

Jumlah pencari kerja di Indonesia tentunya akan semakin bertambah seiring waktu, apalagi dengan bonus demografi yang akan dirasakan Indonesia beberapa tahun mendatang. Jika tahun 1980-1990an, mencari pekerjaan masih bisa dikatakan mudah, karena pesaing untuk mendapatkan pekerjaan tidak sebanyak sekarang.

Masa Depan Dunia Kreatif dan Digital

Menjadi PNS atau pegawai kantoran memang masing menjadi sebuah pekerjaan yang seksi di kalangan masyarakat Indonesia. Mindset inilah yang tertanam dalam pikiran sebagian besar masyarakat bahwa seseorang dipandang sudah bekerja, jika memakai seragam, jika memakai dasi, jika ada uang pensiun, dan jika pergi pagi pulang sore. Selain pekerjaan dengan kriteria di atas tentunya tak dianggap oleh masyarakat (termasuk mertua).

Lalu apa kabarnya dengan pekerjaan-pekerjaan di dunia kreatif dan digital seperti penulis skenario, pencipta lagu, youtuber, dan designer grafis, yang bisa bekerja dimana saja, bahkan di dalam kamar dengan hanya mengenakan piyama? Ternyata masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata pekerjaan mereka hanya karena tak bekerja di kantor dan tak mendapatkan gaji tetap tiap bulan. Padahal, penghasilan pekerja kreatif dan digital ini bisa berkali-kali lipat dari gaji pegawai kantoran tiap bulannya.

Masa kini berbeda dengan masa lalu, masa kini nilai rapor dan IPK berada di urutan ke sekian sebagai penentu keberhasilan karena saat ini seseorang lebih membutuhkan skill dan kreatifitas jika ingin bertahan dan maju.

Saat ini, dunia sedang dalam era kemajuan teknologi dan digital, Indonesia tentunya harus mengambil kesempatan ini jika tidak ingin tertinggal. Berikan kesempatan para pekerja kreatif dan digital untuk mengembangkan diri mereka, misalnya di dunia start up, karena bukannya tak mungkin kelak akan lahir Steve Job dan Mark Zuckerberg baru dari Indonesia.  

Pemerintah sebenarnya sudah cukup sadar bahwa industri kreatif mampu mendukung perekonomian di Indonesia dengan dibentuknya Badan Ekonomi Kreatif yang dipimpin oleh Triawan Munaf. Secara keseluruhan, pemerintah telah mengidentifikasi ada 15 (lima belas) subsektor dalam industri kreatif, yaitu: Periklanan (Advertising); Arsitektur; Pasar Barang Seni; Kerajinan (Craft); Desain; Fashion; Video, Film dan Fotografi; Permainan Interaktif (Game); Musik; Seni Pertunjukan (Showbiz); Penerbitan dan Percetakan; Layanan Komputer dan Pirangti Lunak (Software); Televisi dan Radio (Broadccasting); Riset dan Pengembangan; Kuliner.

Pentingnya industri kreatif ini seharusnya disadari pula oleh masyarakat dan para anak muda Indonesia, bahwa masa depan dan kesuksesan itu tak hanya dengan bekerja menjadi pegawai negeri atau bekerja di kantor dengan dasi yang menggantung di leher. Kesuksesan bisa diraih dengan menjadi penulis, sutradara, desainer, fotografer, dan beragam pekerjaan di dunia kreatif lainnya.

Oleh karena itu, untuk menghadapi bonus demografi, pemerintah pun harusnya tanggap dengan lebih menguatkan industri kreatif ini, beberapa diantaranya adalah dengan pendanaan serta perundang-undangan, khususnya di bidang HAKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Selain itu, pemerintah juga harus bisa membuka wawasan generasi produktif tentang dunia kreatif dan digital dengan memberikan pelatihan untuk meningkatan skill serta kreatifitas demi menyambut bonus demografi di tahun-tahun mendatang. Sehingga ketika bonus demografi datang, Indonesia tak perlu cemas akan adanya gelombang pengangguran, karena para generasi usia produktif sudah siap untuk mengembangkan kemampuan di dunia digital dan kreatif.(*)

Facebook : Richa Miskiyya

Twitter : @richamiskiyya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun