Mohon tunggu...
Richad Ade Sastra
Richad Ade Sastra Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa

FST UNAIR

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Skema Transisi Industri Migas

22 Juni 2020   16:14 Diperbarui: 22 Juni 2020   16:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan berdalih peningkatan akuntabilitas dan transparansi regulator migas terbesar di Indonesia, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir pada tanggal 12 Juni lalu telah resmi memangkas dan merestrukturisasi jajaran direksi PT. Pertamina. Setelah menggambarkan roadmap dan perencanaan pengembangan di sektor minyak dan gas, Erick kemudian memaparkan perlunya perampingan dan restrukturisasi pada tubuh PT. Pertamina agar mampu bersaing dengan perusahaan energi di tingkat internasional. Melalui Surat Keputusan No. SR-396/MBU/06/2020 tanggal 12 Juni 2020, tentang pembahasan pembentukan holding migas, maka secara resmi Erick memangkas direksi PT. Pertamina yang awalnya berjumlah 11, kini hanya menjadi 6 direksi. Keenam direksi yang kemudian diangkat antara lain yaitu

  • Direktur Utama, Nicke Widyawati
  • Direktur Penunjang Bisnis, M. Haryo Yunianto
  • Direktur Keuangan, Emma Sri Martini
  • Direktur SDM, Koeshartanto
  • Direktur Logistik dan Infrastruktur, Mulyono
  • Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha, Imam Rachman

Pembentukan holding migas ini nanti akan diikuti dengan pembentukan subholding migas. Pembangunan struktur kerja yang baru ini diharapkan mampu mendongkrak pergerakan ekenomi di sektor migas. Tidak menunggu lama setelah mendapatkan mandat kembali dari menteri BUMN, Bu Nicke selaku Direktur utama PT. Pertamina langsung merespon dengan melakukan pembentukan subholding migas, yang sesuai dengan perencanaan dan roadmap pengembangan migas dari menteri BUMN. Pembentukan subholding migas ini dimaksudkan untuk penyeragaman kinerja dan penyatuan langkah, agar tidak membentuk ketimpangan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Terdapat 5 subholding yang telah disusun oleh direksi PT. Pertamina, dan masing-masing subholding adalah pemegang kendali atas pengerjaan di masing-masing bidangnya. Kelima subholding tersebut adalah Upstream Subholding (PT. Pertamina Hulu Energi dan PGN), Refinery & Petrochemical Subholding (PT. Kilang Pertamina Internasional), Power & NRE Subholding (PT. Pertamina Power Indonesia), Commercial & Trading Subholding (PT. Patra Niaga) dan satu Shipping Company (PT. Pertamina International Shipping).

Selain pembentukan holding dan subholding migas, ada satu arahan dari menteri BUMN yang menuai banyak kritik dari kalangan tubuh PT. Pertamina sendiri maupun kalangan cendekiawan. Menteri BUMN memnberikan target kepada jajaran direksi PT. Pertamina yang baru untuk bisa Go Public pada kurun waktu dua tahun kedepan. Arahan dari menteri BUMN pun disambut dengan respon positif oleh direktur utama PT. Pertamina. Bu Nicke seketika bergegas dan mengutarakan bahwa setelah pembentukan subholding, maka holding Migas PT. Pertamina akan bersiap untuk mengangkat salah satu anak perusahaan di bidang hulu migas untuk melantai di bursa atau Initial Public Offering (IPO). Pergerakan inilah yang sedang banyak diperbincangkan oleh kalangan pengamat energi dan kalangan akademisi.

Ada perihal menarik mengenai pergerakan energi, khususnya perusahaan minyak dan gas. Pada tahun 2019 yang lalu, Indonesia sempat mendapatkan serangan politik internasional dengan diberhentikannya ekspor Crude Palm Oil (CPO) oleh Negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa telah sepakat untuk menghentikan pembelian CPO termasuk dari Indonesia lantaran dianggap mengancam terjadinya deforestasi. Banyak yang menyangkal dengan opini bahwa ini merupakan akal-akalan dari Uni Eropa karena takut terjadinya persaingan antara produk minyak dari biji matahari dengan CPO dari Indonesia, akan tetapi sekali lagi regulasi ini telah bulat dan tengah dijalankan hingga saat ini. Sontak merespon gerakan Uni Eropa tersebut membuat Presiden Joko Widodo kemudian memilih opsi Counter Attack (Serangan balik) dengan menyiapkan minyak CPO dengan sebaik mungkin. Pak Jokowi mempersiapkan rencana pembangunan kilang Biorefinery di tiap kilang yang dimiliki oleh PT. Pertamina. Hal tersebut ditujukan agar nantinya Indonesia tidak lagi mengekspor minyak CPO secara Cuma-Cuma (dalam bentuk crude), tetapi presiden mengarahkan untuk mengekspor CPO dalam bentu bahan bakar nabati yang berupa biogasoline, biodiesel hingga bioavtur. Pak Jokowi pun menjanjikan untuk segera menggelontorkan dana agar bisa membantu PT. Pertamina untuk merevitalisasi kapasitas kilang yang dimiliki. Kemudian apa hubungannya dengan pergerakan Go Public anak perusahaan Pertamina yang ditargetkan oleh menteri BUMN?

Perlu diketahui bersama, bahwa pengembangan energi baru terbarukan telah menjadi perhatian khusus di dunia saat ini. Wacana akan dirilisnya bahan bakar nabati maupun kendaraan berbahan bakar listrik telah banyak disuarakan bahkan hingga di kalangan akademisi. Melalui CNBC Indonesia juga, menteri BUMN pernah mengatakan bahwasannya BUMN raksasa yang dimiliki oleh Indonesia, dalam kurun waktu kedepan harus mampu memproduksi sendiri batrei untuk mobil listrik. Tentu bukan tidak mungkin, PT. Pertamina nantinya juga harus memikirkan bagaimana proses yang terjadi di hulu untuk kedepan. Apabila memang kebijakan penggunaan bahan bakar nabati akan dikembangkan secara nasional, maka mau tidak mau holding migas harus merombak besar-besaran bentuk dari hulu perusahaan. Pasalnya, ketika memang akan dikembangkan produk bahan bakar nabati, maka bahan baku yang digunakan adalah minyak tanaman. Bisa jadi hulu migas yang pada saat ini adalah proses drilling minyak mentah baik onshore maupun offshore, kedepan akan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Data dari Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), yaitu perhimpunan industri yang melakukan pengolahan oleokimia (vegetable oil) tercatat masih ada 11 perusahaan dan tidak ada satupun diantara kelimanya yang dimiliki oleh Negara (BUMN). Kesebelas perusahaan olekimia tersebut antara lain PT. Ecogreen Oleochemicals, PT. Wilmar Nabati Indonesia, PT. Cisadane Raya Chemicals, PT. Apical KAO Chemicals, PT. Domas Agrointi Prima, PT. Unilever Oleochemical Indonesia, PT. Sumi Asih, PT. Soci Mas, PT. Nubika Jaya, PT. Musim Mas, PT. Energi Sejahterah Mas. Masing-masing dari perusahaan oleokimia pada masa ini juga sedang menyiapkan pengolahan minyak CPO menjadi bahan bakar nabati. Contohnya saja Wilmar Nabati Indonesia, yang telah menjadi supplier tetap biodiesel kepada PT. Pertamina. Bukan tidak mungkin, apabila Indonesia bermimpi untuk kembali menguasai pasaran bahan bakar di dunia, maka holding migas harus bertransformasi menjadi perusahaan yang siap mengelolah secara utuh bahan bakar nabati, mulai dari hulu hingga ke retail. Sekali lagi, pengajuan anak perusahaan Pertamina agar melantai di bursa IPO dua tahun kedepan, merupakan langkah yang harus kita pahami secara menyeluruh. Memang Bahasa yang digunakan oleh menteri BUMN adalah bagaimana caranya untuk mendapatkan akuntabilitas serta transparansi, tetapu ketika kita bisa mengkaji lebih luas lagi, ini adalah salah satu skema transisi industri energi, menuju usaha EBT untuk tetap bisa berkembang dan memberikan kesejahteraan yang menyeluruh kepada masyarakat. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun