Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memiliki peran penting dalam proses peralihan hak atas tanah di Indonesia. Tugas utama PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Namun, dalam beberapa kasus, akta yang dibuat oleh PPAT sering menjadi sasaran gugatan, baik sebagai turut tergugat maupun tergugat utama.
Batasan yuridis mencakup batasan-batasan yang diberlakukan oleh hukum, peraturan, dan regulasi yang ada. Dalam konteks tanggung jawab PPAT, batasan yuridis merujuk pada ketentuan dalam undang-undang yang mengatur tugas dan kewajiban PPAT. Hal ini termasuk peraturan mulai dari Undang-Undang hingga Peraturan Menteri ATR/BPN. Beberapa peraturan yang relevan di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021. Batasan yuridis memastikan bahwa PPAT bekerja dalam kerangka hukum yang jelas dan terdefinisi, menjaga agar proses peralihan hak atas tanah dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Batasan normatif mengacu pada standar etika, moral, atau norma-norma yang diterima dalam masyarakat. Dalam konteks ini, batasan normatif mencakup kode etik pejabat pembuat akta tanah. Kode etik ini menilai apakah tindakan PPAT sesuai dengan standar profesionalisme dan integritas yang diharapkan. PPAT diharapkan untuk menjalankan tugasnya dengan jujur dan adil, serta menghindari segala bentuk konflik kepentingan yang dapat merugikan salah satu pihak dalam transaksi.
Batasan sosiologis melibatkan faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi persepsi dan praktek dalam suatu bidang. Dalam konteks tanggung jawab PPAT, batasan sosiologis mencakup bagaimana masyarakat atau pihak-pihak terlibat dalam transaksi tanah memandang peran dan tanggung jawab PPAT. Sebagaimana masyarakat ketahui, tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun. Hal-hal di luar itu sebenarnya bukan wewenang dari PPAT, dan masyarakat seharusnya memahami batasan-batasan ini untuk menghindari kesalahpahaman atau ekspektasi yang berlebihan terhadap peran PPAT.
Selain itu, batasan teknis juga menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Batasan teknis mengacu pada keterbatasan yang ditentukan oleh teknologi, metode, atau instrumen yang digunakan. Misalnya, dalam proses pembuatan akta tanah, PPAT harus memastikan keaslian dan keabsahan dokumen yang diserahkan oleh para pihak. Jika teknologi yang digunakan untuk verifikasi dokumen masih manual atau tidak terintegrasi dengan database nasional, ada risiko kesalahan atau ketidakakuratan dalam pengecekan dokumen. Selain itu, sistem informasi yang tidak terhubung secara nasional juga dapat menghambat PPAT dalam mengakses data yang akurat dan terkini mengenai status kepemilikan tanah atau riwayat peralihan hak, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi akurasi akta yang dibuat.Â
Batasan psikologis juga perlu diperhatikan, terutama dalam memahami bagaimana persepsi, sikap, dan perilaku individu dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek psikologis. PPAT mungkin menghadapi tekanan psikologis yang timbul dari persepsi risiko dan ketidakpercayaan dari para pihak yang terlibat dalam transaksi tanah. Jika salah satu pihak merasa bahwa PPAT berpihak pada pihak lain, hal ini dapat menimbulkan konflik dan ketegangan yang mempengaruhi keputusan dan tindakan PPAT. Selain itu, bias kognitif seperti kecenderungan untuk mengambil jalan pintas atau mengabaikan informasi yang bertentangan dengan penilaian awal mereka juga dapat mempengaruhi kinerja PPAT. Stres dan beban kerja yang tinggi juga dapat mempengaruhi ketelitian dan keakuratan dalam melakukan verifikasi dokumen dan pembuatan akta, sehingga penting bagi PPAT untuk mengelola tekanan ini dengan baik.
Dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang ini, kita dapat memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang batasan dalam konteks tanggung jawab PPAT. Hal ini akan membantu PPAT dan pihak terlibat dalam transaksi tanah untuk memahami dan menavigasi situasi yang kompleks dengan lebih baik, serta memastikan bahwa proses peralihan hak atas tanah dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sehingga, aparat penegak hukum, hakim yang memeriksa perkara, maupun pihak-pihak lainnya terkait dapat memahami kondisi dan posisi seorang PPAT dalam perannya melaksanakan sebagian kewenangan pendaftaran tanah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI