"Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan."
Pemerintah boleh berbangga dengan berhasil menghadirkan para pemimpin dunia dalam gelaran G20, November lalu. Pemerintah pun boleh berbangga dengan berhasil meningkatkan pendapatan tuan rumah hingga mencapai Rp 30 miliar per hotelnya. Tapi di saat yang bersamaan, kenyataan miris hadir di mana perempuan Indonesia masih berkutat dengan kemiskinan dan kesulitan membangun usaha. Karena sulitnya mengakses kredit perbankan dengan alasan dibutuhkannya "izin suami".
Akses kredit perbankan merupakan kemampuan seseorang untuk mendapatkan kredit dari pihak bank dengan jumlah, jangka waktu dan tingkat suku bunga tertentu. Artinya, setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk mendapatkan pinjaman bank. Hal ini didasarkan pada berbagai faktor, seperti penghasilan, aspek yuridis, aspek pasar, aspek operasi, aspek sosial ekonomi, dan aspek amdal. Ini menunjukkan bahwa baik laki-laki ataupun perempuan berhak mendapatkan kesempatan akses kredit perbankan yang serupa.
Disadur dari economicreview.id jumlah pelaku Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) di Indonesia hampir 50% dimiliki oleh perempuan. Tetapi, banyak perbankan yang belum maksimal dalam memberikan kredit bagi pelaku UMKM. Tercatat hanya 18% total kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada UMKM. Artinya, besarnya jumlah dukungan yang pemerintah berikan pada perempuan untuk membangun usaha melalui kredit, masih belum berfungsi maksimal. Karena perempuan mengalami kesulitan dalam mengakses kredit yang diberikan pemerintah.
Sri Mulyani dalam acara CSW 66 Side Event menyatakan bahwa UMKM memberikan kontribusi 60% dari sisi ketersediaan pekerjaan. Artinya, perempuan memainkan peranan yang besar dalam menciptakan kesempatan kerja. Pada kesempatan yang sama disampaikan pula bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sangat mengandalkan perempuan. Oleh karena itu, penting untuk memberikan akses bagi perempuan dalam institusi keuangan, termasuk perbankan.
Data-data yang dimunculkan menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran penting dalam perekonomian negara. Perempuan seharunya mendapatkan ruang yang sama seperti laki-laki dalam mengakses kredit. Tetapi, kenyataannya perempuan masih kesulitan mengakses kredit perbankan dan salah satu penyebabnya ialah aturan yang bias gender yang ditetapkan oleh perbankan.
Aturan yang dimaksud ialah adanya aturan bahwa perempuan harus mendapatkan izin suami saat akan mengajukan pinjaman. Kasus ini terjadi pada banyak perempuan yang bermaksud mengembangkan usahanya, namun terganjal dengan aturan izin dari suami. Aturan izin suami dianggap menyulitkan karena tidak semua suami mau dan memberikan izin bagi istri yang berminat berusaha. Padahal si suami tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau seorang pengangguran.
Bank membutuhkan persetujuan suami dengan alasan sebagai penjamin. Artinya, perempuan kurang dipercaya dalam menangani pinjaman dan usahanya. Usaha yang dijalankan seorang perempuan dinilai lebih beresiko.. Hal ini merujuk pada kultur sosial patriarkal yang masih lekat dalam masyarakat Indonesia. Perempuan dianggap sebagai hal yang tidak penting, walaupun perempuan itu tengah berjuang mempertahankan keluarganya.
Ketidakpercayaan terhadap perempuan, izin suami hingga tidak dianggapnya perempuan dalam masyarakat menyebabkan perempuan sulit mendapat akses kredit. Bahkan saat mendapatkan akses pun tidak sesuai dengan harapan atau nilainya lebih kecil dibandingkan laki-laki. Kondisi kian miris saat dibandingkan dengan laki-laki yang mengajukan pinjaman, di mana walaupun tanpa persetujuan istri, kredit akan diterima. Jumlahnya pun dapat dibandingkan dan kebanyakan lebih besar dibandingkan pinjaman bagi perempuan.
Berkaca dengan kondisi ini, penulis menarik perhatian pada aturan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah telah berupaya menghadirkan hukum dan administrasi yang netral gender dengan tidak memihak pada satu pihak. Tetapi, kenyataannya kultur sosial masyarakat Indonesia masih memainkan peranan besar. Kultur patriarkal masih berperan dominan, sehingga perempuan masih dianggap sebagai orang nomor dua dan pihak yang tidak penting.
Sulitnya akses kredit bagi perempuan akhirnya menutup kemungkinan perempuan untuk mengembangkan usahanya. Maka, tidak heran bila para analis sosial menyatakan bahwa wajah kemiskinan adalah wajah perempuan. Semoga ke depannya, akan ada titik terang dan kemudahan bagi perempuan untuk mengakses kredit perbankan dengan kemudahan sama seperti yang didapatkan laki-laki.