Mohon tunggu...
Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Pecinta Lingkungan dan Keadilan

Pecinta Lingkungan dan Keadilan I @ributlupy I www.lupy-indonesia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Indonesia, Belajarlah dari Chile

8 Juli 2015   17:26 Diperbarui: 8 Juli 2015   17:53 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Gambar: www.goal.com"][/caption]

Tuan rumah Chile secara mengejutkan sukses menjuarai Copa Amerika 2015. Chile mengandaskan Argentina dengan skor 4-1 lewat babak adu penalti setelah bermain kacamata dalam 120 menit. Sepanjang waktu normal dan babak perpanjangan, Chile menunjukkan perjuangan keras dan membuat raksasa Argentina mati gaya.

Selama adu pinalti empat penendang Chile semuanya sukses mengeksekusi. Sedangka dari Argentina hanya Messi yang berhasil menjebol gawang Chile. Publik dan  insan sepakbola di Indonesia penting untuk tidak sekadar menikmati laga pada minggu dini hari kemarin sebagai hiburan semata. Kesuksesan Chile menjadi juara penting dikaji rahasianya dan diambil pembelajarannya, baik dari sisi teknis maupun nom teknis bagi pemajuan sepakbola dalam negeri.

Poin Pembelajaran

Persepakbolaan nasional kini sedang terpuruk dan menjadi terburuk di sepanjang sejarah. Indonesia terkena sanksi FIFA, dampaknya seluruh aktifitas persepakbolaan menjadi mati suri. Momentum buruk ini mesti tetap dioptimalkan salah satunya dengan belajar dari negara-negara lain guna membangkitkan persepakbolaan nasional. Banyak poin pembelajaran yang dapat dipetik dari kesuksesan Chile memboyong Copa Amerika 2015 ini.

Pertama, kemampuan percaya diri, nasionalisme, dan tidak demam panggung. Para pemain sukses menguatkan mental dan mendayagunakan dukungan mayoritas suporter selaku tuan rumah. Nasionalisme pemain Chile nampaknya mencapai puncak guna merengkuh gelar perdana dari turnamen yang sudah berusia 99 tahun tersebut. Indonesia juga memiliki modal tersebut. Dukungan penggila sepakbola di tanah air luar biasa ketika Timnas tampil. Iklim nasionalisme juga hadir kuat. Tinggal mental pemain yang perlu ditata dan dilatih agar profesional dan keluar dari tekanan psikologis.

Kedua, mental petarung dan tidak takut melihat kedigdayaan lawan. Peringkat FIFA Chile jauh di bawah Argentina. Chile juga tidak sebanyak Argentina dalam kepemilikan pemain top dunia. Namun, Chile sukses menerapkan sepakbola modern yang mengandalkan sistem dan strategi bermain bukan aksi per pemain. Sepakbola modern membuktikan bahwa ketika tim memasuki lapangan hijau, maka semua memiliki peluang sama. Indonesia masih harus banyak berlatih dalam hal mental, strategi bermain, kekompakan sistem bermain, manajemen energi pemain, kedewasaan suporter, dan lainnya.

Ketiga, dukungan manajemen persepakbolaan. Badan sepakbola Chile melakukan manajemen persepakbolaan secara independen dan profesional. Tidak terjadi konflik antara organisasi tersebut dengan pemerintahnya. Mata rantai pembinaan terjanin baik dan optimal. Profesionalisme sepakbola juga berjalan baik melalui industrialisasi hingga mencetak pemain-pemain berbakat di kancah liga Eropa. Poin ini menjadi aspek paling berat untuk diteladani Indonesia. Bagaimanapun Indonesia mesti bangkit menuju profesionalisme sebagaimana Chile.

Keempat, dukungan sprotifitas, kedewasaan, dan nasionalisme suporter. Suporter disebut juga pemain kedua belas. Peran suporter sangat besar guna menguatkan mental pemain, meskipun sudah menurun perannya dalam sepakbola modern ini. Riuh rendah suporter justru bisa menjadi penekan psikologis pemain jika tidak bisa dikelola mentalnya. Selaku tuan rumah, suporter Chile menunjukkan sikap sportif, tidak banyak melakukan pelanggaran, dan menyemangati timnya dengan aura nasionalisme yang kuat melalui atributisasi. Suporter Indonesia jujur masih perlu banyak belajar. Kuantitas suporter yang kerap memenuhi stadion kadang dinodai ulang yang kurang dewasa, seperti pelembaran benda ke lapangan, pembakaran kembang api, hingga perusakan atau tawuran. Kualitas suporter dalam sepakbola modern juga mencerminkan kualitas tim negara atau klubnya.

Indonesia yang berpenduduk lebih  dari 250 juta sudah lama bermimpi melihat timnas berprestasi. Peta jalan penting ditata mulai dari nol memanfaatkan kondisi terkini. Langkah kecil dan sistematis mesti dilakukan dalam multi aspek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun