Ilustrasi kisah pewayangan yang disampaikan Ketua KPU Kota Pekalongan, Fajar Randi Yogananda, masih saja jengang. Kata hati saya, mas Fajar tak sekadar cerdas, melainkan arif dan berbudi. Lewat ilustrasi---yang menurut ukuran saya---sekaligus metafora, ia mengantarkan pesan, betapa adiluhungnya peradaban kita. Sampai-sampai, untuk menuntun bangsa ini pada kegemilangannya, kita diwarisi kisah-kisah dengan narasi kuat dan alur cerita yang konsisten.Â
Sayang rasanya, jika kisah-kisah itu tercampakkan. Kita perlu terus membaca ulang kisah-kisah itu. Sekurang-kurangnya, sebagai pengingat agar kita berkelaluan untuk mawas diri. Lebih-lebih, di saat kita tengah melangsungkan pesta demokrasi, pestanya rakyat.Â
Istilah pesta memang identik dengan kemeriahan, kegembiraan, kesukacitaan. Meski begitu, kita perlu mengarifi makna kegembiraan itu dalam koridor yang penuh kehormatan. Agar, seluruh tata caranya terlaksana dengan cara yang baik. Kita perlu mendahulukan kebijaksanaan.
Saya patut mengunjukkan rasa hormat kepada mas Fajar atas sikap bijaksana yang ditunjukkan. Saya merasa bangga, Kota Pekalongan memiliki seorang bijaksana seperti beliau. Rasa terima kasih saya haturkan kepada beliau pula, karena telah membuat saya tercerahkan. Ingatan saya disegarkan kembali pada kisah-kisah pewayangan yang sarat pesan moral dan etika itu.
Menyoalkan moral dan etika dalam pewayangan, ingatan saya disegarkan pada kisah Panakawan. Mungkin, sebagian pembaca yang bijak bestari akan menganggap Panakawan hanya diperankan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dan lupa, bahwa tokoh Panakawan juga diperankan Togog dan Mbilung.Â
Sepenuhnya, tidak keliru pada anggapan para pembaca yang arif lagi berbudi. Tetapi, sekiranya saya ajak pembaca yang berhati lembut untuk menengok kisah kedua Panakawan ini, mari kita lepaskan sejenak purbasangka apa pun tentang kisah itu.Â
Pembaca yang saya muliakan, kedua kubu Panakawan---saya kelak menyebutnya Geng Semar dan Geng Togog---memiliki kodrat yang sederajat. Yakni, sebagai pamomong para ksatria. Tugasnya, tak memberi pengajaran semata kepada para ksatria tentang keluhuran budi pekerti, tata krama, maupun kebijaksanaan. Akan tetapi, juga menjaga muruah para ksatria, mengasuh mereka, membimbing, bahkan sesekali memberi para ksatria hiburan. Terlebihnya, tatkala hati para ksatria dibalun gundah gulana.
Walakin, wilayah tugas Geng Semar dan Geng Togog rupanya jauh berbeda. Geng Semar cukup beruntung karena momongannya adalah para ksatia protagonis. Dalam pada itu, Geng Togog bernasib agak kurang mujur. Mereka ditugasi momong para ksatria berwatak antagonis.Â
Syahdan, murid-murid kedua kubu Panakawan ini sesungguhnya memiliki tingkat kecerdasan yang sama tingginya. Maklum, mereka semua adalah wangsa ksatria. Tentu, mereka punya akses dan fasilitas yang dapat menjangkau jenjang-jenjang pendidikan sampai tingkat paling tinggi. Ya, kalau mau dianalogikan mereka bisa sekolah sampai pascasarjana.Â
Lalu, apa yang membuat mereka terbagi dalam dua fungsi, protagonis dan antagonis tadi? Saya kira, para pembaca yang cendekia sangat mafhum. Bahwa kedua kelompok ksatria ini dibedakan atas asas personalitasnya atawa tabiatnya.Â