Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersabar Saat Berhadapan dengan Pedagang Pasar yang Jutek

9 Januari 2024   18:12 Diperbarui: 9 Januari 2024   18:18 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dugaan saya, yang dilakukan istri saya itu sekadar trik atau mungkin saja basa-basi. Ia lebih lihai soal tawar-menawar harga. Aneh rasanya kalau ia tiba-tiba mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Apalagi soal selera. Kalau saya pilihkan barang yang lain, sekalipun hanya beda warna, bisa rame tuh jadinya.

Saya jadi ingat, ini seperti permainan drama. Hanya panggungnya di pasar beneran. Karakter tokoh-tokohnya pun sangat realis. Tidak seperti sedang menghafal naskah atau menunggu giliran. Sikap tubuhnya sangat natural. Ekspresinya, apalagi!

Sampai di rumah, istri saya terlihat girang. Mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan dengan harga cocok. Kata istri saya, "Yang namanya menawar itu bukan soal harganya. Tapi, soal kepuasan."

Kepuasan? Rasanya aneh. Sebab, bagi saya, yang namanya menawar harga itu mencerminkan mental diskonan, pelit, bahkan mental gratisan. Apa nggak lebih bisa dianggap sebagai sesuatu yang memalukan?

Istri saya tertawa. Menurutnya, orang yang nggak bisa menawar harga itu orang yang nggak tahu itung-itungan. Bukan karena gagal belajar matematika. Tetapi, gagal memahami bahwa di dalam dunia bisnis, seorang pedagang bisa mengambil keuntungan besar jika tidak ditawar. Bahkan, bisa melebihi batas kewajaran. Misal, harga ia beli barang seratus ribu. Lalu, dijual dua ratus lima puluh ribu. Kan nggak wajar. Kalau pun ada biaya angkut, ongkos nggaji penjaga toko, dan lain-lain, itu kan terakumulasi. Jatuhnya ke per bijinya paling nggak sampai lima puluh ribu.

Hmm... istri saya sepertinya lebih pinter ngomongin soal bisnis. Terutama soal dagangan. "Tapi, kalau harus berhadapan dengan penjual yang galak?" tanya saya.

"Itu wajar. Nggak harus dimasukkan ke hati. Itu akting, Yah. Biasa... itu cara dia menghadapi pembeli yang super ngeyel seperti aku," katanya.

Oh... gitu rupanya. Baiklah. Sepertinya saya juga kudu belajar akting sama pedagang galak tadi. Heu heu heu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun