Saya tak punya tulisan yang kelihatannya ilmiah. Ups! Kenapa saya sebut "kelihatannya ilmiah"?
Saya kerap menjumpai tulisan para akademisi di sebuah kampus di kota kelahiran saya⏤yang tak perlu saya sebut namanya⏤berlabel artikel ilmiah. Ketika saya baca secara saksama tulisan-tulisan itu, saya belum mendapatkan kesan keilmiahannya.
Kecuali, terlalu banyak kutipan yang dicomot sana-sini tanpa memperhatikan koherensi, kohesi, korelasi, maupun relevansi antara perihal yang sedang dibahas dengan apa-apa yang dikutipnya.
Konon⏤ini baru konon⏤kutipan-kutipan yang dibubuhkan dalam lembar-lembar kertas ukuran kuarto itu dianggap sebagai teori. Sementara, dari hasil membaca yang saya lakukan, kutipan-kutipan itu umumnya baru berupa definisi, indikator, atau alur pikiran. Mengapa saya sebut demikian? Sebab, dalam tulisan itu tidak saya temukan alasan mendasar yang membuat ihwal yang dicomot itu layak disebut teori.
Ah, mengapa tulisan saya ini jadi sebrengsek ini? Padahal, saya sedang tidak ingin membahas persoalan itu. Oke, saya kira perihal yang saya sebutkan tadi tak perlu dilanjutkan. Kita mulai saja dengan kalimat pembuka yang baru. Yang⏤semoga saja⏤fresh dan tidak bikin dahi berkerut. Saya hanya ingin berbagi pengalaman pribadi saya saja. Itu saja.
Alhamdulillah, saya sekarang sudah merdeka. Saya tak harus mengerjakan seperti yang dulu pernah saya ogah kerjakan. Bikin laporan ini-itu yang membuat kepala pening. Sekarang, saya bebas ngoceh apa saja lewat corong radio.
Sebuah pekerjaan yang sebetulnya sudah saya tekuni sejak sebelum saya lulus S1. Jangan salah ya, menjadi seorang broadcaster di radio itu bukan pekerjaan sepele, meski banyak orang menganggapnya demikian. Saya maklum saja, sebab kebanyakan radio di kota kecil yang nyaris kehilangan sebagian besar wilayah daratannya ini hanya dicekoki dengan radio-radio hiburan.
Tanpa menganggap rendah radio-radio itu, pencermatan saya atas radio-radio hiburan ini memang punya kesan yang kurang mengenakkan. Padahal, ada banyak kawan saya, penyiar radio hiburan yang memang cerdas.
Sayangnya, pandangan awam itu yang agaknya menghapus kesan cerdas itu. Radio hiburan kadung mendapat stereotipe yang kurang mengenakkan. Malah, ada anggapan bahwa untuk menjadi seorang penyiar di radio-radio hiburan syaratnya mudah; asal bisa ngoceh. Titik!
Kesan awam itu rupanya berimbas pada seluruh radio, tanpa pandang genrenya. Padahal, ada radio berita, radio informasi, dan lain-lain. Segmennya tentu berbeda jauh dengan radio hiburan.
Di radio berita, seorang penyiar tidak hanya dituntut lancar ngoceh. Akan tetapi, kudu piawai berkomunikasi, punya pengetahuan dan wawasan yang cukup, dan cakap pula dalam menyampaikan informasi. Tentu, penyiar radio di radio berita kudu pinter.