Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Krisis Moneter 1997-1999 Jadi Masa Kejayaan Becak di Kota Pekalongan

15 Agustus 2023   03:08 Diperbarui: 15 Agustus 2023   12:06 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Becak Pekalongan kekinian. Dulu, becak Pekalongan dilengkapi selebor di bagian sisi kanan-kirinya. (Sumber: kompas.id/Mawar Kusuma Wulan)

Bentuk becak Pekalongan juga sangat membantu bagaimana para pedagang ikan untuk mengangkut barang dagangannya dari pelabuhan menuju pasar. Biasanya, tak hanya satu dirigen, akan tetapi bisa banyak dirigen berisi penuh ikan. 

Selain itu, juga amat meringankan pedagang-pedagang lain. Bahkan, becak Pekalongan mampu dijadikan sebagai alat untuk mengangkut gerobak bakso atau lainnya.

Betapa, ini membuktikan tingkat kecerdasan masyarakat Pekalongan. Segala yang dirancang tak sekadar menjadi jawaban atas satu persoalan. Akan tetapi, mampu menjadi solusi atas banyak hal. 

Sesuai dengan istilah yang dahulu kerap didengung-dengungkan, "palango". Kata ini, biasanya diucapkan sebagai wanti-wanti atau pengingat agar seseorang waspada dan bersikap antisipatif atas segala kemungkinan.

Sayang, cerita tentang becak itu lambat laun mulai kikis. Bahkan, bisa jadi akan hilang dari ingatan masyarakat. Apalagi di era kini lebih banyak masyarakat Pekalongan yang memilih memelihara kendaraan roda dua bikinan negeri Sakura. 

Bahkan, tak memandang batas kapasitas, penggunaan kendaraan roda dua ini cenderung lebih diandalkan oleh para pengusaha batik sebagai alat angkut barang-barang produksi mereka.

Becak sebagai sarana transportasi manusia juga sudah tergeser oleh keberadaan kendaraan roda dua itu. Terlebih dengan kemunculan ojek online yang dirasa lebih memungkinkan bagi para penumpang untuk mengejar waktu. 

Pun rogohan tangan mereka relatif tak membuat dompet mereka kering dalam seketika. Belum lagi tawaran-tawaran lain yang memanjakan, seperti jasa pengiriman barang, pesan-antar makanan, dan lain-lain, yang itu semua mungkin saja tak bisa dilakukan oleh para penarik becak.

Tetapi, kalau toh memang harus dipertahankan, masihkah ada generasi muda yang mau menjalani pekerjaan sebagai penarik becak? Agaknya, sangat jelas jawabannya; tidak. Mengapa? Karena tingkat kesejahteraannya tidak menentu, bahkan cenderung rendah. 

Kehidupan para penarik becak relatif lebih banyak yang berada di bawah standar kesejahteraan. Padahal, menjadi seorang tukang becak bukanlah sebuah dosa. Tetapi, mengapa kerap dipandang rendah? Lalu, kikisnya becak akankah pula menjadi kikisnya rasa kebersamaan dan menajamkan persaingan antarindividu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun