Spontan, dengan rasa percaya diri yang tinggi saya jawab, "Ada. Masih bertahan."
Melihat respon saya, Jero Arum mesam-mesem saja. Lalu, ia susulkan pertanyaan kedua, "Gimana itu, Kang perkembangannya sekarang?"
Dengan merasa yakin seyakin-yakinnya, saya jawab lagi, "Sekarang sastra Jawa di Jawa itu mengalami banyak perkembangan. Pilihannya sangat variatif. Ada cerkak, ya macam cerita pendek, tapi berbahasa Jawa. Ada juga geguritan. Dan sebagainya."
"Kalau macam macapat, kidung, atau kakawin apa masih ada?" tanya Jero Arum lagi.
"Nah, itu dia! Di kota saya, Pekalongan, sepertinya macapat, kidung, apalagi kakawin sudah tak banyak orang yang kenal jenis-jenis sastra itu. Meskipun macapat masih diajarkan di sekolah-sekolah. Tetapi, upaya merevitalisasi atau menyebarluaskannya masih sangat kurang. Di kota saya, lebih banyak orang mengenal karya-karya sastra dari Arab, khususnya yang bermuatan kisah kenabian, nabi Muhammad. Bentuknya lebih ke syair-syair, Jero. Dan karya-karya sastra itulah yang lebih populer. Sebab, di kota saya, kegiatan pembacaan syair-syair itu kerap diselenggarakan dalam beragam acara," jawab saya.
"Wah, kalau begitu luar biasa ya Pekalongan. Bisa mengenal karya sastra dari negeri lain. Itu artinya, pergaulan budaya lintas negeri di Pekalongan jauh lebih bergema di sana," puji Jero Arum.
Saya pun manggut-manggut. Saya merasa pujian itu tidak berlebihan. Sebab, bagaimana pun Pekalongan dulunya memang kota dagang kelas dunia. Jadi, itu saya anggap wajar.
"Tetapi, kami cukup gembira di sini, Kang. Karena bisa menjaga sastra Jawa. Terutama sastra Jawa Kuno," seketika ucapan Jero Arum membuat rasa banggaku luruh. Saya diam. Jero Arum melanjutkan, "Jadi, kami di Bali, masih melestarikan naskah-naskah sastra Jawa lama yang dulu adalah bagian dari kebudayaan orang Jawa. Setiap pagi, di sekolah, sebelum mulai jam pelajaran pertama, anak-anak kami membaca naskah-naskah Jawa Kuno itu satu per satu. Bergilir. Kami juga mentradisikan penulisan ulang naskah-naskah lontar itu. Anak-anak diajari bagaimana menulis naskah itu dengan menggunakan bahan yang sama, yaitu lontar. Aksaranya juga masih sama. Utuh. Tidak diubah."
Semakin Jero Arum menjelaskan itu, saya merasakan wajah saya memucat. Tetapi, apakah beneran pucat, saya tidak tahu. Saya tidak sempat melihat wajah sendiri dari cermin.
"Jadi, anak-anak di sekolah kami masih mengenal Arjunawiwaha, Mahabharata, dan sebagainya. Kalau di Pekalongan bagaimana, Kang?" tanya Jero Arum.
Saya tidak bisa mengelak kenyataan. Betul, bahwa bahasa Jawa diajarkan di sekolah-sekolah. Mungkin juga sastra Jawanya, sekalipun porsinya bisa jadi tak lebih banyak dari materi-materi kebahasaan. Atau, sastra Jawa hanya dikenalkan sekilas. Maka, sulit rasanya membekas. Saya sendiri hanya mengenal sangat sedikit sastra Jawa. Bahkan, untuk sastra Jawa kuno, nyaris tidak ada satu pun yang saya kenal. Seingat saya, dulu waktu sekolah saya tidak pernah mendapatkan pengajaran mengenai sastra Jawa kuno itu. Atau, mungkin diajarkan, tetapi tak membekas sama sekali dalam ingatan saya.