Ternyata, seni tari tradisional Barongan bukan lagi milik Indonesia. Itu terjadi sejak tahun 2015. Artinya, kejadian itu sudah berlalu 8 tahun silam. Lalu, bagaimana itu bisa terjadi? Dan, pihak mana yang berani mengklaim tari tradisional Barongan sebagai miliknya?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, alangkah baiknya Anda tahan emosi dulu. Tarik napas panjang, tahan sebentar, lalu pelan-pelan hembuskan. Jika belum kunjung reda emosi Anda, mungkin Anda perlu mengulanginya lagi sampai benar-benar pikiran dan hati Anda tenang. Kalau sudah benar-benar tenang, Anda boleh melanjutkan membaca tulisan ini.
Saya akan ajak Anda ke suatu desa yang ada di wilayah Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Kabupaten ini merupakan salah satu wilayah pesisir utara Jawa. Tentu, di kabupaten ini memiliki pantai. Tetapi, jangan salah, kabupaten ini juga memiliki panorama pemandangan pegunungan. Bahkan, di sejumlah titik di wilayah Kabupaten Batang, terjadi pertemuan antara kaki perbukitan dengan laut. Sehingga membentuk sebuah tebing yang langsung berhadapan dengan laut.
Menariknya, di atas tebing itu tumbuhlah hutan dengan pohon-pohon kayu yang tumbuh liar. Pohon-pohon itu berderet memanjang memenuhi urat-urat bukit. Di sela-sela hutan Anda dapat menemukan perkampungan dan desa-desa, area perkebunan dan persawahan, juga jalur Pantura yang melintang seolah-olah memotong hutan itu menjadi dua bagian. Yaitu, bagian utara dan selatan.
Memang, kawasan hutan di pesisir Batang ini merupakan bagian dari hutan purba, yaitu Alas Roban. Hutan ini dulu menjadi semacam benteng bagi pulau Jawa. Memanjang dari ujung timur hingga ujung barat pesisir pulau Jawa. Namun, seiring perubahan masa, Alas Roban hanya menyisakan beberapa kawasan di sejumlah titik di pesisir utara Jawa. Salah satunya di Kabupaten Batang.
Secara etimologi, nama Alas Roban terambil dari bahasa Jawa Kawi. Alas searti dengan hutan. Sementara kata "roban" terbentuk dari kata "rob" atau "rwab" yang berimbuhan partikel "-an", yang artinya air pasang. Maka, bisa dimaknai bahwa Alas Roban adalah hutan di kawasan yang terdampak air pasang.
Di salah satu desa yang berada di kawasan Alas Roban, Kabupaten Batang, tepatnya Desa Kemiri, Kecamatan Subah, rupanya terdapat seni tari tradisional Barongan. Masyarakat di sana menyebutnya Singo Barong. Tentu, karena ada di Kabupaten Batang, maka kisah-kisah yang dibawakan adalah cerita-cerita rakyat asal Batang. Yaitu, kisah asmara Kelana Sewandana, raja dari Banter Angin alias Ponorogo yang jatuh hati pada seorang putri bernama Dewi Dyah Ayu Sangga Langit.
Untuk bisa meminang putri Kediri itu, sang putri meminta Sewandana mengalahkan Singo Barong yang ada di Alas Roban. Singkat cerita, pasukan Sewandana kalah perang melawan Singo Barong, hingga Sewandana maju sendiri menghadapi Singo Barong. Dan, akhirnya menang. Sang putri pun akhirnya berhasil dipinang.
Yang menarik dari kesenian barongan ala Alas Roban ini adalah kepercayaan yang tertanam pada masyarakat. Bahwa barongan kerap dihadirkan untuk upacara untuk mengusir kekuatan jahat dari bangsa demit. Barongan digunakan semacam hiburan bagi bangsa demit, agar bangsa demit terlena sampai capai. Begitu mereka lelah, maka bangsa demit ini tidak lagi memiliki kesempatan mengganggu warga.
Begitulah, sekilas tentang kesenian tradisional Barongan Alas Roban. Sekalipun disajikan dalam bentuk yang sederhana, namun nuansa mistisnya begitu kental. Dan, bagi masyarakat desa, nuansa mistis itulah yang menjadi hiburan tersendiri.
Setelah sebentar saya ajak Anda mengunjungi Kabupaten Batang, sekarang giliran saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di bagian awal tulisan ini. Ya, sejak tahun 2015 seni tari Barongan, khususnya Barongan khas Bali bukan lagi milik Indonesia. Akan tetapi, ia telah menjadi milik masyarakat dunia. Kok bisa?