Pekalongan. Tetapi, malam itu (11 Mei 2023) ada dua hal yang membuat siaran Kojah Sastra edisi 146 itu begitu istimewa. Pertama, topik yang saya sajikan. Yaitu, "Mengenang La Rose, Perempuan Pengarang Asal Pekalongan". Kedua, saya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai salah seorang dosen sastra Universitas Indonesia yang sekaligus seorang sastrawan, Kang Maman S. Mahayana, via sambungan telepon.
Seperti ratusan Kamis malam yang telah terlewati, saya masih setia memandu program siaran Kojah Sastra yang diudarakan lewat FM 91,2 Radio Kota BatikPada perihal pertama, keistimewaan itu lebih dipengaruhi oleh nama besar La Rose yang kelahiran Pekalongan. Bagi saya, itu perihal yang patut dirayakan. Terlebih, saya adalah orang Pekalongan. Saya lahir dan dibesarkan di kota kecil yang terletak di pesisir Jawa ini. Sangat berdosa rasanya jika nama La Rose tidak pernah saya ulas, meski saya tidak pernah memiliki kesempatan menjumpai beliau. Malahan, saya baru menemukan nama La Rose justru ketika saya mengambil studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang, dua puluh tiga tahun silam. Nama La Rose, saat itu benar-benar membuat saya terkejut. Ternyata, ada perempuan pengarang asal Pekalongan.
Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, nama itu hanya tersimpan dalam ingatan. Tidak sempat saya baca lagi tentang apa dan siapa itu La Rose. Mendiskusikannya pun tidak. Tak pernah juga saya menjumpai apalagi menyentuh karya-karyanya. Hanya sesekali saya menyebut nama Lar Rose dalam beberapa kali perkuliahan yang saya ikuti lewat pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan kepada beberapa dosen saya, kala itu. Kendati demikian, tak saya temukan jawaban yang cukup memuaskan.
La Rose hanya dikenalkan sekali. Bahwa, ia adalah seorang novelis perempuan yang memiliki kecendrungan menulis novel-novel populer. Itu saja. Selebihnya, tak pernah ada kajian atau ulasan baik mengenai karya maupun peibadinya.
Setelah pulang kampung, pada akhir tahun 2009, nama itu pun tak juga terdengar. Nama La Rose sepi dari pembicaraan. Juga tak pernah diingat oleh pemangku kebijakan. Seperti juga pada nama-nama sastrawan asal Pekalongan lainnya.
Dalam berbagai kegiatan dan acara, baik acara resmi ala Pemerintah Kota Pekalongan, maupun acara-acara kecilnya komunitas penulis karya sastra, nama La Rose selalu luput dari perhatian. Tersebab itu pula, pada Kamis malam, 11 Mei 2023, lewat corong Radio Kota Batik, nama La Rose saya dengungkan sembari memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mempelajari apa dan siapa La Rose.
Di balik meja siaran, selama dua jam mengawal program siaran "Kojah Sastra", saya membuka kesempatan pula bagi masyarakat Pekalongan yang ingin berbagi informasi mengenai ketokohan La Rose. Saluran telepon, Whatsapp, live chat di YouTube, juga DM instagram diaktifkan. Berharap, ada informasi penting mengenai sosok La Rose.
Ternyata benar. Salah seorang pendengar setia Radio Kota Batik berkirim pesan melalui WA. Pak Ipung, nama pengirim pesan itu. Isinya, mengenang tokoh perempuan pengarang itu. Tertulis dalam pesan yang dikirim Pak Ipung,Â
"La Rose nama yang legendaris. Penulis dan novelis. Karya karyanya yang spektakuler di dunia sastra dan seni. Kita ingat novelnya beliau Dalam Wajah Wajah  Cinta (1976) , Nah Ini Dia (1977). La Rose juga menginspirasi kita waktu ikut lomba nulis novel, puisi, dan pantun. Beliau salah satu panutan kita dalam seni dan sastra. Thanks mas Ribut sudah mengangkat tema La Rose ..... nuwun "
Pesan itu membuat saya sedikit lega dan makin bergairah bersiaran. Perhatian yang demikian besar dari Pak Ipung seperti sebuah suntikan energi bagi saya. Sekaligus menyadarkan saya, bahwa rupanya masih ada warga Kota Pekalongan yang cukup mengenal baik nama La Rose. Walau begitu, tidak banyak yang cukup tahu tentang La Rose yang dulu kerap mengisi kolom di Majalah Kartini.
Selang 42 menit kemudian, pesan WA kembali saya terima. Masih dikirim dari nomor dan nama yang sama, Pak Ipung. Ia tuliskan:Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!