"Iya sih, tapi saya pinginnya saat di atas podium itu. Bagi saya, itu lebih menarik ketimbang saat diwawancara. Jawabannya sudah pasti beda, meski perbedaannya tak terlalu besar. Pernyataannya relatif masih sama," timpalnya.
Tak salah juga sebenarnya keluhan kawan saya itu. Tetapi, mungkin saja ia belum menemukan cara lain untuk menuliskan berita dengan sudut pandang yang berbeda. Saya maklum, ia masih baru menjalani pekerjaannya.
"Sayangnya, kamu nggak punya wewenang untuk mengatur beliau-beliau," celatuk saya kemudian.
Ia mengangguk. Tetapi, segera menyorongkan pertanyaan, "Terus apa dong solusinya?"
"Ketika saya di posisimu, saya akan menulis berita peristiwa itu dengan sudut pandang lain. Saya akan fokuskan ke hal lainnya. Tidak ke acara seremonialnya. Di acara-acara macam itu pastilah ada banyak peristiwa kecil yang boleh jadi luput dari perhatian. Di situlah saya akan berburu informasi dan mengumpulkan data sebanyak mungkin. Siapa tahu, itu yang lebih menarik untuk dituliskan jadi berita daripada seremoninya. Begitu mendapatkan peristiwa kecil yang benar-benar menarik, saya akan meletakkan acara seremonial itu hanya sebagai bagian kecil dari keseluruhan peristiwa seremonial itu," jelas saya.
"Tapi berita tentang pejabat dan kegiatannya itu kan penting?" sergahnya.
"Tidak selalu dan tidak selamanya," jawab saya singkat. "Makanya, saat menghadiri acara begituan kita perlu memanfaatkan secara maksimal ketajaman panca indera kita, supaya lebih peka dan bisa mendapatkan bidikan peristiwa yang bisa bikin orang melongo saat kita menuliskannya sebagai berita. So, kita pun bisa enjoy dengan apa yang kita tulis."
Dia lantas menganggukkan kepala. Semoga saja anggukan yang betulan, bukan sekadar anggukan yang seremonial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H