"Bagaimana dengan nama Chairil Anwar?" tanya saya lagi.
Pun pertanyaan itu. Jawaban mereka masih sama. Tidak lebih, tidak kurang.
"Taufik Ismail? Goenawan Muhamad? Sutardji Chalzoum Bachri? Atau sebutkan satu nama saja deh yang pernah Anda dengar," lanjut saya.
Ternyata, jawabannya masih tidak bergeser.
"Lalu, apa yang teman-teman peroleh selama ini?" tanya saya.
Salah seorang dari mereka menjawab, "Tidak ada, Kak. Kami kan belajarnya daring. Jadi, materi yang diberikan teramat sedikit. Waktu belajar pun tidak terlalu banyak."
"Tapi kan teman-teman masih bisa browsing kan? Searching apa-apa saja yang perlu diketahui tentang puisi. Iya kan?" gugat saya.
"Iya sih. Cuma kami browsing itu ya sesuai dengan tugas yang diberikan guru. Selebihnya, kami nggak ngulik lebih dalam lagi, Kak," jelas salah seorang peserta.
Sambil menepuk jidat, saya berseru, "Ampun! Jadi, selama duduk di bangku SMP kalian tak cukup diajarkan mengenai sastra? Mengenai puisi? Mengenai cerpen, novel, roman, dan lain-lain? Juga mengenai apa itu drama?"
Mereka mengangguk. Kompak.
Fix! Dunia kesusasteraan telah diasingkan dari bangku sekolah! Pikir saya saat mendengar penjelasan mereka.