literasi dan jati diri. Tentang apa itu literasi dan apa itu jati diri, saya tak perlu memperpanjangkannya menjadi kalimat yang seolah-olah memberi batasan atau pengertian atas kedua hal itu. Saya yakin, semua sudah pernah mengunyah beragam pengertian itu dari berbagai sumber. Soal mana yang jadi pilihan, itu kembali pada selera dan bagaimana kemudian pengertian-pengertian itu diolah menjadi sebuah sikap, tindakan, dan perilaku sehari-hari.
Ada dua hal yang termaktub dalam judul tulisan ini, yaituLewat tulisan yang saya kira tak perlu membuat nalar Anda harus terkuras, saya justru tertarik dengan tiga istilah terakhir; sikap, tindakan, dan perilaku. Ketiganya sangat erat hubungannya dengan pola pikir. Sementara pola pikir, tersusun atas cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan kedalaman cara kita berpikir. Tetapi, ada satu hal yang juga patut dipertimbangkan, yaitu bagaimana kita mengelola rasa merasai (rasa pangrasa).
Cara pandang, cara kita memandang segala sesuatu. Tentu, setiap orang punya cara yang berbeda-beda, sesuai dengan apa yang dimengerti atau sekurang-kurangnya berdasarkan informasi yang diperoleh. Sedang sudut pandang, cara kita melihat sesuatu didasari oleh apa yang kita yakini benar. Sementara jarak pandang, berbicara soal keterjangkauan kita melihat segala sesuatu itu. Dan kedalaman cara berpikir, lebih pada bagaimana kita melihat sesuatu itu secara mendalam. Tidak sekadar luasnya wawasan yang kita punya dasarnya, melainkan pula bagaimana kemudian kita sanggup memaknainya.
Tetapi, semua itu pastinya akan berbeda satu sama lain. Bergantung pada kesanggupan dan kemauan. Lalu, apa yang bisa mempertemukan semua itu? Yakni, rasa merasai (rasa pangrasa). Mengapa diperlukan?
Rasa pangrasa, dalam keilmuan ala Jawa adalah puncak dari segala pengetahuan manusia. Esensi dari rasa pangrasa adalah estetika yang dalam bahasa keseharian diejawantahkan menjadi tata krama atau dalam istilah kerennya sering kita ucapkan sebagai etika. Tata krama meliputi segala sikap, tindakan, dan perilaku keseharian. Dari ketiganya, lantas membangun cara hidup orang Jawa yang berlandaskan pada keselarasan.
Untuk memahami laras, ada baiknya kita mempelajari lagi bagaimana seni karawitan dibentuk. Kita juga perlu menganyam serpih-serpih masa lalu yang sudah lama kita tanggalkan karena menuntuk "modernitas" yang kita sendiri tidak paham apa batas kemodernan itu. Tentu, tidak mungkin kita bisa kembali ke masa lalu. Akan tetapi, dengan mempelajari masa lalu yang kini gambarannya pun agak atau malah sudah sangat kabur itu, kita bisa mengerti untuk apa kita dilahirkan di negeri ini.
Laras, tidak sekadar memadukan antara nada. Tetapi juga memadukan antarsuara dan karakter suara yang berbeda-beda. Juga antara peran satu dengan yang lainnya. Bagaimana gong dibunyikan pun, tidak selalu dijatuhkan pada akhir sebuah hitungan birama. Akan tetapi, bisa sangat mungkin dijatuhkan di tengah-tengah namun dengan karakter dan nada yang berbeda. Bagaimana memukul gong pun memiliki cara yang berbeda-beda. Pada saat yang tepat, maka alunan nada gong itu bisa menghasilkan suatu kedalaman nada yang menceruk ke dalam relung-relung sunyi. Dan banyak lagi hal-hal lain yang tidak mungkin saya tuliskan semua di lembaran ini.
Sinau tentang laras, maka kita juga akan mempelajari bagaimana bangunan-bangunan masa lampau bisa tetap bertahan hingga kini. Usianya bahkan sudah berabad-abad. Borobudur misalnya, dibangun antara abad ke-6 hingga abad ke-7. Artinya, usia Borobudur kira-kira sudah mencapai 1.700an tahun. Dan banyak lagi yang lainnya.
Saya kira, tulisan ini sekadar pemantik untuk sebuah diskusi. Harapan saya, diskusi yang akan kita langsungkan benar-benar mampu membuat kita semua tergerak untuk secara pelan tapi pasti dapat mengubah keadaan. Maka, saya sangat berharap pula akan muncul kesadaran yang benar-benar tergali dari dalam diri kita masing-masing. Bukan karena sesuatu yang tidak pernah ada pada diri kita. Kesadaran dalam konteks yang saya maksud, kesadaran tubuh, pikiran, rasa, dan sukma.
Sebagaimana dilecutkan W.S. Rendra;
....