Ibarat pohon yang tercerabut dari akarnya, perjalanan sebuah bangsa yang terpangkas dari akar sejarahnya akan mengalami masa-masa kebimbangan. Sekalipun bangsa tersebut mengalami kemajuan, pembangunan yang dijalankan hanya menyentuh pada persoalan fisik. Sedang pembangunan manusia, dipastikan akan cenderung diabaikan.
Begitulah ungkap K.R.T. Manu J. Widyaseputra dalam sebuah tayangan video di kanal YouTube caknun.com beberapa waktu lalu. Ia menengarai, persoalan bangsa yang belakangan muncul tidak lain sebagai dampak dari ketercerabutan akar sejarah.
Secara spesifik, Romo Manu menjelaskan, dahulu bangsa-bangsa di Nusantara ini telah memiliki kesepakatan bersama tentang regenerasi kekuasaan yang demikian rapi. Memiliki sistem ketatanegaraan yang disepakati dan dilaksanakan oleh seluruh bangsa di Nusantara.
Sekarang, semua itu tak sekadar dilupakan, melainkan pula hilang dari ingatan kolektif bangsa-bangsa di Nusantara. Terhapus dari sejarah bangsa. Hal itu terutama sekali dipengaruhi oleh sistem ketatanegaraan asing yang mencampuri ketatanegaraan yang sudah berlaku ribuan tahun lalu.
"Negeri nusantara ini sebetulnya kalau tidak dicampuri ketatanegaraan dari negeri asing itu damai-damai saja. Itu karena hampir di seluruh kerajaan di nusantara itu menganut dharmayudha, bukan kuthayudha. Sehingga, pergantian regenerasi itu akan berlangsung dengan dharma tidak dengan cara kasar," ungkapnya.
Pergantian tampuk kepemimpinan pada masa lampau, ketika kerajaan-kerajaan Nusantara Kuno masih berjaya, dilaksanakan dengan cara-cara elegan. Aturan dijalankan. Salah satunya, bahwa tiap-tiap kerajaan hanya boleh berkuasa sampai raja kesembilan. Setelah itu, secara otomatis akan ada masa Pralina yang di dalamnya ada proses regenerasi kekuasaan.
Hasil dari regenerasi itu bisa berupa kemunculan kekuasaan baru yang dipegang oleh dinasti lain dari kerajaan lain. Pusat kekuasaan juga boleh dipindahkan. Mengapa? Karena dalam proses regenerasi tersebut kekuasaan baru tidak boleh mencaplok kekuasaan lama. Sebaliknya, kekuasaan lama tetap dipertahankan keberadaannya.
Selain itu, kekuasaan baru mengemban tugas berat. Yaitu, menjalankan amanat kekuasaan itu sendiri. Bahwa strata kekuasaan yang baru mesti naik level ke level berikutnya. Dalam pengertian ini, watak kekuasaan yang semua adalah watak manusia harus ditingkatkan menjadi watak yang lebih tinggi.
Setelah melewati sekian ratus tahun, terutama pada abad ke-20, ada hal yang sangat disayangkan oleh filolog Sanskerta dan Jawa Kuna ini. Yaitu, kemunculan raja Jawa pasca raja kesembilan. Seperti yang terjadi di Keraton Surakarta dan Keraton Jogja.
"Ketika menjadi raja, misalnya Surakarta, itu Pakubuwono sekarang sudah sampai 13. Ini sudah tidak ada artinya sekarang. Karena setelah 9 itu sudah selesai," ujar Romo Manu.