Seperti pada kerajaan Mataram Kuno yang hanya memiliki 9 raja. Setelah itu, kekuasaan Mataram Kuno diregenerasikan lewat dinasti baru, dinasti Isyana yang dipimpin oleh Mpu Sindok. Tetapi, bukan berarti Mpu Sindok mencaplok kekuasaan Mataram Kuno.Â
Malahan, Mpu Sindok memindahkan pusat kekuasaan ke Jawa Timur. Sementara, keberadaan Mataram Kuno sebagai kerajaan lama, masih diakui dan tidak dijatuhkan kewibawaannya.
Hal ini, agaknya berbeda dengan apa yang dialami negara modern yang menganut sistem Republik. Masa peralihan kekuasaan menjadi ajang 'perebutan kekuasaan'. Kesan yang muncul ke permukaan cenderung mengarah pada upaya politis untuk saling menjatuhkan di antara sesama politisi.Â
Terlebih, dengan memanfaatkan emosi masyarakat yang dimobilisir sebagai pendukung masing-masing kelompok. Masyarakat dijadikan pion-pion politik. Bahkan, kadang 'dikorbankan' sebagai 'martir'.
Begitu tiba hasil akhir dari 'perebutan kekuasaan', rezim berkuasa melenggang dengan lagak jumawa untuk menampilkan diri sebagai yang lebih baik dari sebelumnya.Â
Lalu, memamerkan proyek-proyek mereka tanpa mengindahkan nasib proyek-proyek penguasa sebelumnya yang boleh jadi mangkrak atau tak terurus. Seketika, mangkraknya proyek-proyek itu lantas menjadi bahan pergunjingan para elite dari rezim yang tengah berkuasa.
Betapa praktik untuk saling mempermalukan itu tampak begitu terang. Disaksikan oleh publik. Dijadikan semacam tontonan. Bahkan, tak jarang pula menjadi sajian hiburan tersendiri.Â
Ah, rasanya tak tahan menyaksikan aksi saling menelanjangi itu. Keterbukaan mestinya tidak dimaknai sebagai ketelanjangan. Keterbukaan tentu tidak searti dengan ketelanjangan.
Keterbukaan boleh jadi akan semakin menambah besar kewibawaan kekuasaan. Akan tetapi, ketelanjangan sangat mungkin membuat kewibawaan kekuasaan menjadi hancur. Bahkan, tak ada nilainya di mata masyarakat. Malah, bisa saja kewibawaan kekuasaan semakin jauh dari esensi kekuasaan itu sendiri.
Sebab, sebagaimana diungkapkan Romo Manu, dalam proses regenerasi kekuasaan pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara Kuno, perang tidak bertujuan melucuti raja dan kekuasaannya.Â
Para raja sangat mafhum, bahwa perang yang dilakukan itu untuk melahirkan generasi kekuasaan baru yang jauh lebih baik. Sehingga, mampu menjunjung martabat kekuasaan lebih tinggi derajatnya. Raja yang kalah, tidak mesti merasa dikalahkan. Raja yang menang, tidak mesti berbusung dada.