Pekalongan. Jauh-jauh mereka datang dari desa hanya untuk berkunjung ke studio radio tempat saya bekerja. Wah, tentu kabar itu mengejutkan sekaligus menggembirakan buat saya.
Sepasang suami-istri muda tiba-tiba saja mengirimi saya pesan via Whatsapp. Mereka mengabarkan kalau malam itu, mereka sudah ada diSayangnya, waktu itu saya masih di rumah. Biasanya, saya baru berada di studio jika sudah mendekati jam siaran acara yang saya pandu bersama host partner saya, Om Opix. Dengan sangat terpaksa saya sampaikan kabar kurang enak itu kepada mereka, penggemar acara Wedangan yang biasa tayang di Radio Kota Batik, Pekalongan. Disertai permohonan maaf, saya sampaikan jika tidak bisa menyambut kehadiran mereka di studio.
Syukurlah mereka mau mengerti, meski sebenarnya ada sedikit nada kecewa. Sebab, mereka datang dari jauh. Kira-kira menempuh satu jam perjalanan lebih dari Kota Pekalongan.
Tak enak hati saya menangkap kesan itu, saya lantas berusaha sebisa mungkin untuk datang ke studio lebih awal. Setidaknya, agar saya bisa menyambut kedatangan mereka dan saling bersapa.
Tiba di studio, sepasang suami-istri yang nekat jalan-jalan di malam hari ini masih setia menunggu kedatangan saya. Ditemani host partner saya, Opix, mereka duduk di ruang belakang. Mereka nampak asyik mengobrol.
Saya yang baru saja datang di studio lekas-lekas saja menyambut. Mereka pun menyalami saya. Tetapi, ada yang berbeda saat mereka menyalami saya. Baik sang suami maupun istri menyalami saya dengan mencium tangan saya.
Bagi saya, itu aneh. Bahkan, sangat berlebihan. Sebab, salaman model cium tangan---dalam kebiasaan saya---hanya dilakukan untuk orang tua, guru, atau orang yang dituakan seperti Pak Kiai, Habib, atau sesepuh lainnya.
Sementara saya, tidak termasuk dalam golongan-golongan itu. Jadi, saya pikir itu penghormatan yang berlebihan. Saya pun segera menarik tangan saya, ketika adegan mencium tangan itu hendak mereka sempurnakan.
Selepas itu, kami pun akhirnya mengobrol santai. Minimal untuk mengisi waktu sebelum akhirnya saya dan Opix bercuap-cuap di studio. Obrolan biasa. Saling bertanya kabar, bertanya kesibukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan keseharian lainnya.
Tapi, entah bagaimana mulanya, kedua tamu istimewa kami ini mendadak menjadi speechless. Mereka hanya memandangi kami dengan penuh rasa tegun, sehingga saya merasa seperti sedang monolog di depan mereka. Malah, sempat pula saya merasa grogi begitu menangkap tatapan mereka yang demikian polos.
Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apa mungkin ada yang salah dengan diri saya? Mungkin karena penampilanku yang pakai kain iket untuk penutup kepala dan sarung batik yang kesannya aneh bagi mereka? Ataukah karena caraku bicara yang membuat mereka merasa geli? Entahlah.