batik sebagai warisan budaya dunia yang dimiliki Indonesia ke UNESCO, kata beberapa kawan saya yang terlibat, sangat berdarah-darah.Â
Proses pengajuanDelegasi Indonesia dituntut untuk mampu membuktikan bahwa Indonesia memiliki argumentasi yang kuat dan mampu mematahkan argumentasi dari negara-negara lain yang juga mengusulkan batik sebagai milik mereka.
Bagi orang awam seperti saya, tentu upaya itu tidak mudah dilakukan. Berbagai bahan argumentasi mesti disiapkan dengan sematang-matangnya, selengkap mungkin.Â
Bahan-bahan itu lantas dikaji berkali-kali. Agar, argumentasi yang dibawakan di hadapan UNESCO tak sekadar mengesankan, melainkan pula sangat meyakinkan.
Saya tak bisa membayangkan, bagaimana kemudian pengajuan itu lolos dan diterima UNESCO. Akan tetapi, jika membaca beberapa sumber informasi, khususnya berkait dengan sejarah batik, rasa-rasanya usaha delegasi ini sangat berat. Boleh dibilang, nyaris mustahil pengajuan itu diluluskan UNESCO.
Beberapa literatur menyebutkan, seni mewarnai kain dengan menggunakan lilin malam merupakan bagian dari peradaban kuno.
Khususnya, di Mesir Kuno pada abad ke-4 SM dengan dibuktikan penemuan lembaran kain pembungkus mumi yang dilapisi malam untuk membentuk pola-pola tertentu.Â
Di Tiongkok, teknik serupa batik telah dikenal pada masa Dinasti Tang (618-907M). Demikian pula di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794M).
Sementara di Afrika, suku Yoruba di Nigeria telah mengenal teknik serupa. Begitu pula pada suku Soninke dan Wolof di Senegal.Â
Dan di Indonesia, dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa batik sudah ada di zaman Majapahit. Sumber lain juga ada yang menyebut batik sudah digunakan di era Sriwijaya, abad ke-7 hingga 9 M.
Jika semata-mata mengacu pada sumber literatur yang demikian, tentu diplomasi budaya yang dimainkan delegasi Indonesia mudah saja dipatahkan. Batik di Indonesia tergolong masih sangat muda dibandingkan dengan Mesir, misalnya. Mereka juga punya bukti.