Dalam beberapa buku teori sastra, khususnya yang ditulis oleh para pakar dari Barat, saya menemukan perbedaan pendapat di antara mereka, tentang definisi sastra. Kesan saya, perbedaan pendapat itu memberi peluang bagi istilah sastra untuk terus dapat didefinisikan seiring dengan perkembangan zaman. Istilah sastra, dengan demikian, akan terus berubah.
Kendati demikian, ada beberapa konsekuensi yang mesti siap ditanggung. Pertama, ruang lingkup sastra bisa dikembangkan dengan berbagai fenomena yang bermunculan di tengah masyarakat. Sehingga, kajian mengenai sastra dapat pula dikembangkan.
Kedua, memberi peluang bagi penyusunan sejarah perkembangan sastra---yang artinya, memberi peluang pula bagi upaya penelusuran perkembangan peradaban manusia. Sebab, kajian sastra pada hakikatnya tidak semerta hanya berkutat pada bentuk dan jenisnya. Akan tetapi, juga menyangkut dunia pemikiran.
Ketiga, diperlukan lebih banyak kritik sastra, wabilkhusus bagi sastra Indonesia. Tujuannya, agar perkembangan ilmu sastra dapat terus ditumbuhkan. Akan tetapi, khusus dalam kasus sastra Indonesia, ada persoalan yang menurut pandangan saya perlu dituntaskan oleh studi sastra Indonesia. Yaitu, berkenaan definisi sastra itu sendiri.
Hingga kini, definisi sastra dalam kasus studi sastra Indonesia terkesan belum matang. Saya melihat, hanya ada beberapa tokoh yang telah memberikan batasan tentang apa itu sastra. Dimulai dari kajian yang ditulis A. Teeuw, yang secara terbuka memberi kesempatan kepada penerusnya untuk menemukan batasan-batasan baru tentang apa itu sastra, dalam konteks kebudayaan Indonesia. Sayang, tawaran A. Teeuw sepertinya mentok di tengah jalan. Nyaris tidak ada yang berusaha menggugurkan teori yang disodorkan pakar sastra Indonesia asal Leiden ini.
Patut diduga, mungkinkah konsep teori yang ditawarkan A. Teeuw itu sangat sempurna, sehingga tidak ada yang mampu membantahnya? Bisa jadi demikian. Ataukah, karena dalam perkembangannya kemudian, sastra Indonesia---khususnya yang ditahbiskan sebagai sastra modern---melaju lebih pesat, dengan beragam fenomena yang dihadirkan dalam karya-karya sastra Indonesia modern?
Saya tidak sedang menyangsikan kepakaran Indonesianis berkebangsaan Belanda itu. Sebaliknya, saya sangat bersyukur karena kehadiran beliau di negeri ini yang pada akhirnya mampu melakukan berbagai macam pencatatan atas karya-karya sastra di Indonesia. Bahkan, lewat jasa beliau pula, studi sastra Indonesia merasa sangat terbantu.
Klasifikasi dan kategorisasi atas karya-karya sastra Indonesia yang beliau tunjukkan, sekurang-kurangnya dapat dijadikan semacam pedoman praktis. Sehingga mudah pula untuk diajarkan. Apalagi dengan dibantu model kategorisasi yang disodorkan oleh H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., dan sebagainya.
Namun, rasanya masih ada yang mengganjal. Sampai-sampai sempat saya diskusikan dengan teman sejawat saya, Dr. Dina Nurmalisa, yang dosen cum Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pekalongan. Saya tanyakan pada beliau yang baru dikukuhkan sebagai Doktor bidang Ilmu Sastra, tentang definisi sastra Indonesia yang menurut saya masih sangat terbuka untuk didebatkan.
Saya sampaikan padanya, perihal definisi yang ditawarkan buku-buku karya pakar-pakar sastra Barat. Rata-rata, mereka pun beda pendapat. Salah satu yang membuat mereka berbeda satu sama lain adalah masa awal sastra dikenal oleh bangsa-bangsa Barat, khususnya Eropa. Sekalipun, ya, mereka pada akhirnya menyepakati dan mengamini bahwa batasan sastra dalam tradisi sastra Barat modern menjadi sangat spesifik. Hanya yang berkenaan dengan karya imajinatif yang tertulis.
Akan tetapi, batasan itupun rupanya belum memuaskan sebagian pakar sastra Barat. Terry Eagleton misalnya, menanyakan apakah karya-karya astronomi dan ilmu-ilmu alam lainnya bukan sebuah karya imajinatif? Lalu apa yang membuat sastra demikian spesifik? Meminjam istilah Jakobson yang pendapatnya kemudian diikuti aliran Formalisme Rusia, Eagleton lantas menyorongkan sebuah tawaran mengenai keunikan dalam penggunaan bahasa.