Mohon tunggu...
Ribka Asima Siallagan
Ribka Asima Siallagan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Saya memiliki minat yang mendalam pada ekonomi politik dan pendidikan. Saya tertarik untuk memahami bagaimana kebijakan ekonomi dan keputusan politik bisa berdampak pada akses pendidikan, kualitas pembelajaran, serta kesejahteraan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Respons Kebijakan Terkoordinasi: Bagaimana Pemerintah dan Bank Sentral Bekerja Sama

17 November 2024   10:10 Diperbarui: 17 November 2024   10:25 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: inakoran.com

Di tengah tantangan ekonomi global yang semakin kompleks, seperti dampak pandemi, inflasi yang meningkat, dan ketegangan geopolitik, penting bagi pemerintah dan bank sentral untuk bekerja sama dalam merumuskan kebijakan yang terkoordinasi. Kerja sama ini bukan hanya penting untuk memastikan pemulihan ekonomi yang stabil, tetapi juga untuk menjaga kestabilan moneter dan fiskal jangka panjang. Dalam hal ini, kebijakan fiskal yang melibatkan pengeluaran pemerintah dan perpajakan harus selaras dengan kebijakan moneter yang berfokus pada pengaturan suku bunga dan target inflasi untuk mencapai keseimbangan yang menguntungkan perekonomian.Pemerintah memiliki peran utama dalam pengelolaan fiskal, yang mencakup pengeluaran negara dan penerimaan pajak. Di sisi lain, bank sentral bertanggung jawab atas kebijakan moneter, yang mencakup pengaturan suku bunga, operasi pasar terbuka, serta pengaturan cadangan kas untuk bank. Sinergi antara kedua kebijakan ini sangat diperlukan untuk mencapai tujuan ekonomi yang lebih luas, seperti pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pengendalian inflasi. Ketidaksesuaian antara kebijakan fiskal dan moneter dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, yang pada akhirnya mempengaruhi daya beli masyarakat dan kepercayaan investor.

Sebagai contoh, selama pandemi COVID-19, pemerintah di banyak negara terpaksa meluncurkan paket stimulus fiskal yang besar, seperti bantuan langsung tunai, subsidi untuk bisnis, dan peningkatan pengeluaran untuk sektor kesehatan. Di Indonesia, stimulus fiskal yang diberikan untuk mendukung ekonomi selama krisis COVID-19 mencakup peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan untuk sektor-sektor yang terdampak. Pada 2020, pemerintah Indonesia mengalokasikan Rp 695,2 triliun untuk menangani dampak pandemi, termasuk dalam bentuk bantuan sosial dan pembiayaan pemulihan ekonomi. Namun, stimulus fiskal semacam ini bisa menyebabkan defisit anggaran yang besar, yang membutuhkan penanganan hati-hati agar tidak memicu ketidakstabilan fiskal jangka panjang.

Di sisi lain, bank sentral, dalam hal ini Bank Indonesia, menggunakan kebijakan moneter untuk menanggapi gejolak ekonomi. Selama pandemi, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan menjadi 3,75% pada 2020, tingkat terendah sepanjang sejarah, untuk mendukung likuiditas dan mendorong pinjaman. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi biaya pinjaman bagi perusahaan dan konsumen, serta mendorong konsumsi dan investasi. Pada saat yang sama, Bank Indonesia juga melakukan operasi pasar terbuka untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang. Ketika suku bunga diturunkan, diharapkan mata uang akan melemah, yang dapat membantu meningkatkan daya saing ekspor negara. Namun, langkah ini juga bisa menyebabkan tekanan inflasi jika tidak dijaga dengan baik. Inflasi Indonesia tercatat 1,68% pada 2020, yang lebih rendah dari tahun sebelumnya, namun sempat mengalami tekanan pada akhir 2021 seiring pemulihan ekonomi yang semakin pesat.

Namun, tantangan muncul ketika kebijakan fiskal dan moneter tidak terkoordinasi dengan baik. Sebagai contoh, jika pemerintah terus meningkatkan pengeluaran tanpa memperhatikan keberlanjutan fiskal, sementara bank sentral menurunkan suku bunga secara agresif, hal ini dapat menyebabkan lonjakan inflasi yang tidak terkendali. Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli masyarakat, merusak kesejahteraan ekonomi, dan merugikan sektor bisnis, terutama mereka yang bergantung pada biaya bahan baku impor. Sebaliknya, jika bank sentral menaikkan suku bunga terlalu cepat untuk mengendalikan inflasi sementara pemerintah memperkenalkan kebijakan fiskal yang terlalu ketat, pertumbuhan ekonomi dapat terhambat. Misalnya, pada 2021, Bank Indonesia menahan suku bunga tetap rendah meskipun inflasi mulai meningkat, karena fokus utama adalah mendukung pemulihan ekonomi.

Selain itu, kebijakan fiskal yang berfokus pada pengurangan defisit anggaran jangka pendek dapat berkonflik dengan tujuan pemulihan ekonomi yang membutuhkan pengeluaran besar dalam jangka pendek. Oleh karena itu, koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter diperlukan agar kebijakan fiskal yang ekspansif tidak menambah beban inflasi yang tinggi, sementara kebijakan moneter yang ketat tidak menghentikan proses pemulihan. Pada 2023, meskipun inflasi di Indonesia mulai stabil pada level 3,5%, pemerintah dan Bank Indonesia harus tetap berhati-hati dalam mengelola kebijakan untuk mencegah ketidakstabilan jangka panjang.

Contoh terbaik dari kebijakan yang terkoordinasi dapat dilihat pada respons terhadap krisis global tahun 2008. Banyak negara yang berhasil memitigasi dampak resesi global dengan mengkombinasikan kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan moneter longgar. Di Amerika Serikat, misalnya, Federal Reserve menurunkan suku bunga secara agresif, sementara pemerintah mengeluarkan paket stimulus fiskal untuk mendukung perekonomian. Meskipun ada tantangan dalam mengendalikan defisit anggaran, kolaborasi ini membantu ekonomi global pulih dengan lebih cepat dibandingkan dengan krisis sebelumnya.

Di Indonesia, meskipun kebijakan fiskal dan moneter telah banyak berkoordinasi dalam beberapa tahun terakhir, tantangan tetap ada, terutama dalam menjaga keseimbangan antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan inflasi. Kebijakan fiskal yang melibatkan pengeluaran untuk infrastruktur dan program sosial telah didorong, tetapi ini memerlukan dukungan kebijakan moneter yang menjaga suku bunga dan inflasi agar tetap terkendali. Seiring dengan pemulihan ekonomi pasca-pandemi, bank sentral Indonesia terus berfokus pada stabilitas makroekonomi, sementara pemerintah tetap berupaya memacu pertumbuhan melalui kebijakan investasi dan pembangunan infrastruktur.

Dalam jangka panjang, kebijakan yang terkoordinasi akan semakin penting dalam menghadapi ketidakpastian global, termasuk tantangan perubahan iklim, ketegangan perdagangan internasional, dan kemungkinan resesi global. Oleh karena itu, menjaga hubungan yang harmonis antara kebijakan fiskal dan moneter akan menjadi kunci untuk menciptakan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan, dengan memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan jangka panjang dan stabilitas jangka pendek.

Secara keseluruhan, kerja sama antara pemerintah dan bank sentral sangat vital dalam menjaga kestabilan ekonomi, tidak hanya dalam merespons krisis, tetapi juga dalam merancang kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Ketika kedua kebijakan ini bekerja selaras, mereka dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pencapaian kesejahteraan ekonomi yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun