Kita sering menyebut diri sebagai bangsa yang besar karena tanah air kita yang terdiri dari ribuan pulau dan hamparan lautan luas sekali dengan penduduk terbanyak ke empat di dunia.Kekayaan alam dan budaya kita juga luar biasa sehingga menenggelamkan kita dalam kebesaran potensial itu. Namun bagaimana kualitas sumberdaya manusia (SDM) kita hari ini dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain?
Pertanyaan ini mungkin lebih mudah dijawab jika kita keluar dari kotak kebanggaan itu. Jika tidak, kita akan terjebak dengan mengaji ke belakang tentang sejarah, dampak penjajahan, garis start peradaban modern, dan sebagainya yang hanya akan membuat kita tetap tenggelam dalam kebesaran semu itu.Untuk menyederhanakannya mari kita mengambil perbandingan kualitas bangsa kita dengan negara tetangga seperti Fillipina, Thailand, dan Malaysia.
Mari kita periksa secara kuantitatif melalui indikator makro seperti Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang di dalamnya memuat kategori kesehatan, pendidikan, dan pendapatan.Terlepas dari metoda pendataan dan ada tidaknya gap di lapangan, sebagaimana dilaporkan Jakarta Globe 27 Januari 2011 secara umum kita mengalami peningkatan; angka harapan hidup misalnya, naik secara signifikan 17 tahun dari 54 tahun pada tahun 1980 menjadi 71 tahun pada tahun 2010 sementara pada bangsa-bangsa di Asia Timur dan Pasifik hanya naik 14 tahun dalam 40 tahun.
Dalam bidang pendidikan, juga menunjukkan kemajuan yang mengesankan. Dalam 30 tahun terakhir lama atau jumlah tahun anak bersekolah juga naik dari 8 menjadi 12 tahun, tingkat melek huruf juga naik dari 53 ke 94 persen dan jumlah anak yang bersekolah naik 7 persen.Akan tetapi meskipun pendapatan per kapita naik 180 persen, laporan itu memperkirakan seperlima penduduk Indonesia menderita kekurangan lebih dari satu kategori itu.
Dengan kenyataan itu, Indonesia berada pada posisi ke empat di antara 10 negara yang HDInya naik.Akan tetapi dengan nilai HDI sebesar 0,600 kita berada pada posisi 108 dari 111 negara di bawah Malaysia (ranking 57), Thailand (92), dan Fillipina (97); yang tertinggi adalah Norwegia (0,938) dan terendah adalah Zimbabwe (0,140).Mungkin apa yang ditunjukkan indikator makro ini dapat dijumpai di lapangan atau dalam keadaan lebih buruk namun Ms Trankmann dari UNDP melihat trend posistif di Indonesia dan Ketua Bappenas Armida Alisjahbana juga sudah menargetkan stabilitas makroekonomi dan pengamanan makanan dan energi untuk mengatasi masalah ketertinggalan SDM.
Secara kualitatif ketertinggalan SDM kita juga cukup terlihat dibandingkan dengan ke tiga negara Asean, dalam hal ini Fillipina, Malaysia, dan Thailand.Walaupun secara perorangan sangat banyak orang kita yang maju dan berkiprah dengan gemilang dalam lingkungan global, secara rata-rata kolektif tetap kita rasakan ketertinggalan itu.Ini sudah terlihat pada masalah TKI/TKW yang memprihatinkan kita atau contoh lain dalam wadah kerjasama regional seperti Indonesia Malaysia Singapore-Growth Triangle atau Indonesia Malaysia Thailand-Growth Triangle.
Dari pengalaman pribadi yang relatif subjektif dapat dikemukakan masih banyaknya yang harus kita tingkatkan, sekali pun pada delegasi yang tentu berasal minimal dari kelas menengah.Pada umumnya, dalam forum-forum itu delegasi kita jumlahnya lebih banyak, lebih senior atau berumur, dan kurang bagus berbahasa Inggeris untuk ukuran pergaulan internasional demikian sehingga banyak anggota delegasi yang tidak “in”, diam, atau sibuk berbicara dengan sesama sehingga bisa mengganggu persidangan.Berbeda dengan delegasi negara-negara tetangga itu, tidak jarang pula delegasi kita hadir terfraksi dan mengeluarkan pendapat yang kurang sinkron atau tidak konvergen karena belum ada konsolidasi pemikiran dan koordinasi dalam satu komando atau garisan.
Semua ini harus kita akui karena masih tertinggalnya kualitas SDM kita secara kualitatif dalam bentuk: kompetensi dan kapabilitas yang muncul lebih terlambat, kemampuan berbahasa Inggeris dan pemahaman tentang pergaulan internasional masih kurang, koordinasi masih lemah, dan sebagainya.Keadaan yang memprihatinkan ini bisa saja masih kita fahami dulu tapi tentunya harus kita upayakan perbaikannya dengan konsepsional dan sungguh-sungguh.
Hal lain yang tidak kurang penting adalah merubah paradigmanya.Pertama, ketertinggalan kita tidak perlu kita kaitkan dengan sejarah masa lalu bangsa kita, seperti karena dijajah terlalu lama, adanya kultur feodal yang hidup dalam masyarakat, dan sebagainya tapi perubahan tidak akan terjadi kalau kita sendiri tidak melakukannya.Kedua, sebagaimana yang telah ditunjukkan secara parsial oleh Cina dan India, jumlah penduduk yang besar bukan alasan untuk menjadikannya sebagai beban tetapi harus bisa diubah menjadi potensi yang harus dikembangkan dengan konsep yang komprehensif dan efektif-implementatif, khususnya melalui pendidikan.Insya Allah secara politis kita tidak akan kawatir kalau SDM kita makin berkualitas dan kepala kita akan tegak dalam pergaulan sosial-ekonomi global. Ini hanyalah harapan dan doa seorang yang menginginkan NKRI senantiasa berprogres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H