Kami berjalan dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Michael yang berjalan didepan kami bersama Lim Young-eun tiba – tiba berhenti. Ia meminta kami mengikutinya untuk menaiki sederetan panjang tangga-tangga. Aku melihat di bagian tengahnya ada eskalator namun sepertinya tidak berfungsi.
“During the day, escalator is on. But at night, they turn it off. So, we have to go up by stairs to go to Yongdusan Park” seperti tidak melihat perubahan wajahku Michael melanjutkan berjalan ke atas.
“Yongdusan?” aku berpikir keras. Kayaknya waktu masih di Jakarta aku pernah baca deh tentang taman ini. Sambil menaiki tangga, aku buru-buru mengeluarkan buku travelling tersebut. Penerangan di sepanjang kanopi lumayan terang untuk membantuku membolak balik halaman buku itu. Nah, ini dia…
Yongdusan Park is located in Mt Yongdu…
“Erh, Lin… “ aku menoleh kearahnya. “Kamu tahu kalau kita sekarang sedang mendaki gunung?”
Dengan tatapan yang seolah hendak mengatakan, aduh masa begitu saja heran sih; ia menjawab,”Tahu dong. San itu khan artinya gunung. Yongdu artinya kepala naga. Kamu baca apa nggak sih buku travel itu? Dikasi nama Yongdusan karena bentuk gunung ini seperti naga yang sedang merayap dari pantai!”
“…”
“Ayolah… Gunung-gunung di Korea itu tidak mempunyai ketinggian yang sama. Yang ini mah sebenarnya lebih pantas dibilang bukit. Lagipula sudah ada tangga serapi ini buat pemalas kayak kamu…” masih dengan wajah yang melecehkan Linda meninggalkanku dan menaiki anak tangga selanjutnya.
Sambil menarik napas akupun bergegas menyusulnya seraya memasukkan buku tersebut ke dalam ransel. Baru saja makan tapi sekarang kami sudah harus naik tangga? Namun kekesalan itu menguap ketika kami sampai di taman Yongdusan
“Beautiful, isn’t it?” kudengar suara Michael yang ceria. Tidak terdengar lesu bahkan capek sedikitpun. “From here you can see Busan at night…”
Breathtaking… Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan indahnya pemandangan kota Busan dari taman tersebut. Dikejauhan kami dapat melihat sinar-sinar lampu yang bertebaran di berbagai tempat. Michael dan Lim Young-eun lalu mengajak kami berdua menyusuri taman tersebut.
“If you come here during the day, you could see that there is a statue of our historic war hero; Admiral Yi Sun-sin,” Michael menunjuk ke sebuah patung di kegelapan malam itu. Aku hanya bisa melihatnya dari belakang. “But I prefer you enjoy night view from here”
Saat itu malam telah larut. Namun taman itu masih ramai oleh pengunjung. Kami berjalan bersama mengitari taman tersebut. Memisahkan diri dari Michael dan Lim Young-eun. Mengamati pengunjung yang ada. Tidak hanya para remaja yang terlihat berkelompok ataupun berpasangan. Kursi-kursi nampak terisi pula oleh para manula. Aku berpikir dalam hati, bagaimana nanti cara mereka turun dari taman ini mengingat escalator yang sudah tidak beroperasi. Mungkin ada jalan lain yang bisa dilalui oleh mobil ya? Huh, tapi sudah terlambat memikirkan itu sekarang.
“Ndy!” tiba-tiba Linda mencengkram tanganku. Aku meringis kesakitan sambil berusaha melepaskan diri.
“Cowok yang kita sambit dengan handuk tadi, Ndy… “
Aku menarik tanganku dan melemaskannya sejenak, lalu mataku mengikuti pandangan matanya. Weits, bener.
“Kira-kira dia akan jalan-jalan bersama kita nggak ya?” suara Linda terdengar bersemangat.
“Kenapa tidak kamu tanyakan saja langsung?” aku menjawab dengan keki. Dasar tidak bisa ngeliat barang bagus sedikitpun. Erh, ya cowok itu memang jadi kelihatan keren sih ...
“Ide bagus…,” sambut Linda dan ia bergegas menghampiri Michael yang tengah berbincang dengan cowok itu beserta Lim Young-eun. Tepat pada saat itu Michael menengok kearah kami dan ia melambaikan tangannya, meminta kami bergabung bersama dengan mereka.
“Linda, Sandy… let me introduce you to a friend of mine,” lalu ia menengok kearah cowok itu dan tersenyum,” You said you have met them earlier… but have not been properly introduced…”
Linda mengulurkan tangannya dengan tidak lupa menyertakan senyuman maut andalannya. Tawaku nyaris meledak ketika melihatnya seraya membayangkan seperti apa raut wajah Dion kalau ia mengetahui hal ini.
“My name is Lee Song-jin,” akhirnya kami mengetahui namanya. Tapi ia tidak bicara banyak. Setelah menyalami kami, ia kembali diam. Seperti menunggu adegan apa berikutnya yang diminta oleh sutradara.
“Song-jina here,” Michael kembali membuka pembicaraan “ already agreed to give us a ride tomorrow. Fortunately for us he is here on Busan visiting me”
“Oh, how exciting!” Linda menyambut dengan gembira.
“Yes, and now let us go to see the Busan Tower…” kemudian Michael berjalan mendahului kami disertai oleh Lim Young-eun.
“Wah,” gerutu Linda. “Jangan-jangan kita harus membeli tiket. Aku tidak mau dibayarin lagi. Kamu tunggu disini ya?” dan tanpa menunggu jawabanku ia langsung mengejar Michael.
Senyap…
Lee Song-jin berjalan mendahuluiku. Sombong banget sih cowok ini. Lalu aku tertawa dalam hati. Memangnya aku hendak memintanya untuk menemaniku disini? Lagipula, akan lebih leluasa jika aku dibiarkan sendiri untuk mengambil foto-foto ditaman ini. Hmmm, tapi penerangan di sini tidak begitu terang ya? Aku menggerutu pelan sambil berusaha mengeluarkan kamera milikku. Apa harus menggunakan blitz yang besar ini ya? Duh, malas sekali… Tapi kalau tidak, pemandangan indah ini akan terlewat begitu saja.
“Need any help?”
Aku melompat karena kaget. Huh, apa aku tadi melamun ya? Kok tiba-tiba saja Lee Song-jin sudah ada didekatku. Matanya memperhatikan kamera yang tengah kupegang. Kutangkap rasa tertarik di matanya. Lalu ia menatapku dan tangannya terulur.
“May I have a look at it?”
“Uh, oh… sure ” kupikir ia akan menawarkan bantuan untuk mengambil foto diriku. He..he…he.., ge-er aja sih. Ternyata dia mau melihat kamera ini. Akupun mengangsurkan kamera tersebut kepadanya.
“Hmm,” ia menggumam sambil memegang kameraku dan mengarahkannya ke sudut taman. “What is the type?”
“Oh, Canon EOS … something… I can not remember…” aku mengangkat bahu. Aku memang tidak pernah memperhatikan hal-hal yang detail seperti apa tipenya, harus bagaimana perawatannya. Untung saja kamera itu tidak pernah rusak.
“I am overwhelmed,” dia memandangiku sejenak sambil menaikkan alisnya yang tebal itu “Girls usually do not like carrying heavy camera like this…”
“Oh, really?” entah kenapa dari nadanya itu membuatku sama sekali tidak terkesan akan komentarnya. “What kind of camera do you think I would bring?”
Nada bicaraku ketus rupanya. Karena kulihat ia agak tersentak mendengarnya. Sambil mengembalikan kameraku ia mengatakan bahwa biasanya orang lebih menyukai membawa pocket camera.
“Well, I am not all people,” duh, kok aku tidak bisa menahan nada judes sama sekali. “And now, please do excuse me… I would like to take several pictures in this park…”
Ia mengangkat bahunya dengan tidak acuh. Huh, memang hanya dia saja yang bisa begitu? Jangan dikira karena wajahnya keren, body-nya yang tinggi tegap, dia bisa berpikir untuk seenaknya saja memperlakukan orang lain. Tanpa memperdulikan dirinya lagi aku mulai berusaha berkonsentrasi dan mengarahkan kamera ke tempat yang ingin kuambil fotonya tadi. Hmm, mungkin kufoto saja Menara Busan itu.
“If you have finished then please follow me. I think we better catch up with Michael…” suaranya Lee Song-jin membuyarkan konsentrasiku. Lho? Ternyata dia masih disini?
Aku tertegun. Apa kita serius akan naik keatas begitu saja dengan tangga lagi?
“Do we have to go up?” dengan berlagak malas aku menengok ke arah menara Busan. “I mean, it looks so high. I don’t think my kneecab could handle anymore stairs…”
Dari pandangannya, aku bisa merasa bahwa dia pasti berpikir aku ini baru turun dari gunung setelah bertapa selama puluhan tahun.
“Ehm, you would not think that we will be going by stairs, right?“ wajahnya tampak seperti perpaduan antara orang yang mau tertawa dan kesal sekaligus “The heights is about 118 metres and both of us will be bored to death before we reach the top…”
“Oh… Well, then… silly me…,” aku menyumpah dalam hati. SELAMAT! Sekarang dia pasti berpikir bahwa aku benar-benar tidak punya otak.
“Hmmm, you do not do much sport, do you? No wonder you get tired so easily…” dari suaranya tersirat nada meremehkan.
“No, you are right. I do not like at all…” dengan kesal aku menjawab. Ia memperhatikanku dengan seksama. Lalu membalikkan badan dan berjalan ke tempat pembelian tiket. Dan sesampainya kami disana, kuperhatikan wajah Linda yang terlihat kesal. Aduh, ada apa lagi ini?
“Ggrrrh….” Linda langsung menyeretku agak menjauh dari Michael bertiga. “Dia tidak mau dibayarin lagi! Tapi tadi aku nekat untuk mecoba… dan dia kelihatan kesal sekali… Tapi aku tidak peduli ah…!”
Aku menengok ke arah Michael dan perlahan namun pasti aku mulai merasakan kekesalan Linda. Ya, kenapa ya dia selalu menolak ketika kami hendak ikut membayar? Rasanya sungguh tidak sopan kalau kami terus-terusan ditraktir.
Kami lalu menghampiri Michael untuk menuju puncak Menara Busan. Setelah memberikan tiket, kami masuk ke dalam lift. Ya, tentu saja dengan lift… Kenapa tadi aku bisa sebodoh itu berpikir kalau kami harus lewat tangga untuk sampai diatas?
Wah, aku dan Linda menarik napas karena terkesima. Pemandangan malam terlihat dari gelas kaca yang mengelilingi lantai dimana kami tiba tersebut. Gemeralapan lampu menyambut kami. Mereka seperti kunang-kunang yang tengah menari di rumah-rumah penduduk, di jembatan penyeberangan hingga ke kapal-kapal yang berada di sekitar pelabuhan. Cahayanya memantul di kegelapan lautan yang menjadi satu dengan kekelaman malam. Aku mulai memasang ancang-ancang untuk mengambil foto ketika kusadari blitz dari kamera ini pasti akan memantul di kaca. Ah, kalau begitu mungkin bisa lebih bagus dengan kamera digital?
“You like it up here?” pertanyaan Lee Song-jin yang langsung disambar oleh Linda.
“Yeah, it is so beautiful…” lalu dengan pandangan menggoda ia menengok ke arah Lee Song-jin,” I bet you always bring your girl here to enjoy the view at night…”
Aku tidak mendengar jawabannya. Hmmm, lalu sesuatu terlintas dalam benakku. Kayaknya tadi Michael bilang si Lee Song-jin ini sedang berkunjung ke Busan ya? Apa dia dari kota lain? Kalau begitu apes sekali dia sampai harus menemani kami jalan-jalan. Ah, tapi itu bukan urusanku khan? Sebaiknya aku berdiam diri seraya menikmati pemandangan yang ada terhampar di depan saat ini.
“Ndy, yuk kita keluar… “ lamunanku buyar lagi. “Michael mau ngajak kita jalan-jalan di sekitar Nampo-dong lagi… “
Gluk, berarti kami harus turun lagi dari tangga yang panjangnya minta ampun tadi dong... Aku menundukkan kepala sambil mengomel.
Eh, tadi aku sudah ngobrol banyak loh dengan cowok itu...,” bisik Linda sambil cekikikan.
Kapan? Aku kira tadi dia tengah asyik mengambil foto-foto seperti yang aku lakukan tadi. Tanpa memperdulikan tatapan heran dari ku Linda melanjutkan.
“Dia tuh kerja’annya kurang lebih sama dengan Michael. Tapi dia punya perusahaan travel sendiri. Dia tinggalnya di Seoul. Dan… “Linda menghentikan ocehannya ketika ia menyadari bahwa aku sedang memandanginya dengan takjub.
“Ya? Ada apa Ndy?”
Aku mengacungkan kedua jempolku.
“Hanya dalam waktu beberapa menit kamu sudah seperti kenal lama ya?” dengan mendengus aku melanjutkan,” Lalu apa lagi yang kamu ketahui? Tanggal lahirnya? Statusnya? Ah..., atau berapa penghasilannya selama setahun?”
Ia tidak langsung menjawab karena saat itu kami mulai memasuki pintu lift bersama dengan yang lain. Dipojokan Linda memulai lagi ceritanya,”Ah, kamu mau langsung tau point pentingnya? Dia masih lajang. He...he...he...: ia menyeringai melihat cibiranku. “Usianya? Hanya beda 4 tahun dengan kita ”
Pintu lift terbuka. Kami berdua berjalan di belakang Michael bertiga. Aku menunggu Linda yang berhenti sejenak untuk mengambil foto-foto di taman tersebut.
“Come on you two!” Michael berseru memanggil kami. “Let us get going!”
Setengah berlari kami menyusul mereka bertiga. Dan aku merasa darah di wajahku langsung turun ketika melihat tangga itu lagi. Aku memandangi mereka semua. Yang tampak olehku adalah wajah ceria seolah-olah kami punya karpet ajaib yang akan membawa kami langsung ke bawah.
“Well, if you are praying for the escalator to be turn on again, then I am afraid you will be wasting your time…” nada suara Lee Song-jin terdengar dingin. Brengsek. Dia pasti melihatku tengah menatap escalator tersebut dengan putus asa.
“Sandy never much of a sporty…” kudengar tawa renyah Linda. “She is too lazy to do so…”
Aku menoleh kearahnya dengan sewot, “Thanks a lot for backing me up…”
Sekarang aku jadi bete sama Michael. Ia seperti tour-guide yang sedang memburu waktu agar acara malam ini tidak melewati dari jadwal yang sudah ditentukan. Padahal aku ingin berjalan pelan-pelan saja. Menikmati sekelilingku.
“Ayo Ndy... “ Linda melambai kearahku. “Yuk jalannya buruan. Michael bilang kita akan melihat seputar pusatnya PIFF...”
Bersama kami menyusuri jalan di area Nampo-dong. Pengunjung yang datang rasanya bertambah banyak. Jalanan semakin padat dengan manusia. Kami saling bertubrukan satu sama lain. Tapi tidak ada satu kata maaf keluar dari mulut mereka. Ketika melihat Linda terlihat kesal, Michael langsung mengatakan bahwa seharusnya Linda tahu kalau orang tersebut tidak sengaja. Jadi untuk apa mengharapkan kata maaf? Aku terbahak melihat reaksi Linda yang terpana. Sebaliknya aku malah menggunakan kesempatan itu untuk berjalan seenaknya. Lho, aku khan tidak sengaja juga. He…he…he…
“Don’t get too distant from us,” aku menengok dan mendapatkan Lee Song-jin sudah berhenti menunggu kami. Kali ini ia berbalik dan berjalan beriringan bersama kami berdua. “You know how drunk people tends to be aggressive... So, please walk close to me...”
Aku melirik ke Linda yang langsung berseri-seri. Hmm, jangan-jangan sebentar lagi ia akan merapatkan tubuhnya ke Lee Song-jin dan menendangku kepinggir jalan dengan sukses. Tapi, harus kuakui sih... Cowok ini cukup baik juga telah memperingatkan kami... Satu-dua orang yang sudah mabuk melewati kami sambil tertawa-tawa dengan botol minuman yang masih ditangan. Mereka terlihat tidak peduli lagi dengan sekelilingnya. Terkadang kami berhenti dulu untuk membiarkan mereka lewat.
“What do you think about Korean women?” tiba-tiba Lee Song-jin bertanya pada kami.
“I think they are all gorgeous,” Linda menjawab singkat. Ia melontarkan pandangan bertanya kearahku.
“Very pretty. They have straight hair, smooth skin, and they are all look so incredibly slim,” aku menambahkan sambil membalas pandangan Linda dengan mimik wajah-Mana-Aku-Tahu.
Lee Song-jin tersenyum sambil menganggukkan kepala,”Yeah, I think so too...” dan ia melenggang meninggalkan kami lagi.
Heh? Kami berdua sempat terpaku sejenak. Bener-bener deh… Ternyata dia tidak hanya menyebalkan, belagu.. tapi juga garing…!
Bab sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H