Linda membangunkan aku dan memberitahukan agar aku segera mandi. Michael sudah ada dan hendak mengajak kami berdua menjelajah sebagian kota Busan. Perlahan aku membuka pintu kamar. Sayup-sayup aku mendengar suara televisi. Ketika aku melewati ruang tamu, lagi-lagi aku tidak bertemu Michael. Dengan setengah berlari aku menuju kamar mandi. Guest House ini khan seperti rumah kost. Aku tidak ingin berebutan kamar mandi dengan penghuni lainnya. Tapi tidak kudengar suara-suara dari kamar yang lain. Baguslah. Akhirnya, mandi juga nih… Brrr, jangan lama-lama ah… Tidak sampai setengah jam kemudian, aku sudah berlari kembali ke kamar.
“Cepet banget? Kamu mandi apa nyebur aja di bak mandi-nya?” Linda nampak sudah siap keluar dengan celana jeans-nya, jacket kaos serta scarf-nya.
“Cerewet ah,” aku melempar handuk basah kearahnya. Dengan sigap ia menyambar handuk tersebut dan melemparkannya kembali padaku. Aku memang berhasil menghindar tapi handuk tersebut melesat melewatiku dan pintu kamar yang tengah terbuka. Linda menjerit kecil sambil matanya memandang ke belakangku. Aku menoleh untuk mendapatkan seorang pria tengah berdiri di ruang tamu sambil memegang handukku. Yikes. Siapa dia? Wajahnya tidak mirip dengan foto-foto yang terpampang di dinding ruang tamu. Sejenak aku terdiam memperhatikannya. Kuperkirakan tingginya sekitar 180 cm dan badannya tegap. Mungkin dia sering ke gym? Wajahnya persegi dengan alis yang tebal banget. Matanya memandang kami dengan pandangan penuh tanda tanya.
“I am sorry. We did not mean to be impolite…” tiba-tiba aku menghentikan ucapanku. Gggrh, bagaimana mengucapkan maaf dalam bahasa Korea? Nanti sudah capek aku bicara panjang lebar, tau-taunya orang ini tidak mengerti satu patah katapun.
“Mianhamnida,” Linda sudah langsung mengucapkannya tanpa kuminta. Kemudian ia mengangkat bahu dan memberikan pandangan hanya-itu-yang-aku-tahu kepadaku.
“Your apology accepted,” ucapannya mengejutkan kami berdua. Kutangkap ada nada kesal dalam suaranya. Ia maju selangkah dan memberikan handuk itu kepadaku. Dengan gugup aku menerimanya.
“I hope you two be more careful next time…” dan ia berbalik melangkah keluar. Hah!
Kami berdua saling berpandangan.
“Gila! Sombong banget!”
“Iya, siapa sih dia itu?”
“Tapi keren yaaaaaaa…,” desah Linda sambil matanya menatap ke arah pintu. Seolah-olah pria tadi akan muncul kembali dihadapan kami. “Tampangnya seperti… adaow! Apa-apa’an sih kamu…!”
Aku menatapnya dengan jengkel. Disaat aku bersiap menyabetnya untuk yang kedua kali; tiba-tiba terdengar suara Michael,”Oh, you two are ready to go out now?”
Kami berdua mengangguk. Linda meminta diri sejenak untuk kembali kekamar. Maka tinggallah aku berdua dengan Michael. Aku membungkuk kearahnya sambil tersenyum. Ia menganggukkan kepala dan tangannya mempersilahkan aku duduk. Atau tepatnya sih, lesehan karena tidak ada kursi di ruang tamu ini. Aku baru saja hendak bertanya pada Michael mengenai keluarganya ketika Linda keluar dari kamar sambil membawa oleh-oleh untuknya.
“It’s nothing much, to be compared with your help to us. Please accept this gift,” Linda menyerahkan oleh-oleh tersebut. Kami berdua berdiam diri sambil memperhatikan Michael yang mulai membuka bungkusan dan mengamati hadiah yang kami berikan. Linda segera menjelaskan panjang lebar mengenai tokoh pewayangan yang ada dalam gambar tersebut. Usai mendengar penjelasan dari Linda, Michael segera membawa lukisan tersebut ke sebuah kamar dan menggeletakkannya disana. Lalu ia kembali keluar dan mempersilahkan Linda untuk duduk. Ia berbasa basi sebentar mengenai rute perjalanan kami. Linda ingin mampir di Seoraksan.
“Good choice,” ia tampak puas dengan jawaban Linda. “You will see the finest scenery there during this fall season”
Ia melipat kembali peta tersebut. Lalu menatap kami kembali,”By the way… when will you be leaving Busan?”
Senin pagi kami akan berangkat. Tentunya menyenangkan bisa melihat-lihat pemandangan dari dalam bis..
“Very well then. I will take you to the bus station then on Monday morning. And now, we must get going… So, if you two are ready…,”ia berdiri dan memberi tanda pada kami untuk mengikutinya. Kami berdua menyusul Michael yang sudah berada di luar dan memanggil taksi. Ia segera duduk disamping sang pengemudi dan kamipun duduk dibelakang. Kudengar Michael berbicara dengan si pengemudi. Mungkin dia menyebutkan tempat tujuan. Aku tidak terlalu memperhatikan. Mataku lebih sibuk menikmati kerlap kerlip lampu yang menghiasi kota malam itu. Hingga akhirnya taksi berhenti di suatu tempat. Michael menolak uang kami ketika kami akan membayar ongkos taksi tersebut. Kami berdua jadi tidak enak, tapi mungkin nanti kami akan menggantinya.
“This is City Hall. We are going to use the subway nearby. Tonight I am going to take you to see Nampo-dong” Michael mengajak kami berdua untuk menuruni tangga menuju stasiun subway dan mampir di tempat penjualan tiket. Oh, harga tiketnya per orang 700 Won, kuperhatikan banyaknya uang logam yang ia keluarkan. Kali ini kami berkeras untuk membayarnya sendiri. Kali ini ia membiarkan kami mencoba membeli sendiri tiket subway tersebut. Seperti biasa, Linda mempimpin acara pembelian tiket subway ini. Ia mengeluarkan buku travelling-nya dan membuka halaman dimana tertera peta subway di Busan. Telunjuknya mengarah ke nama stasiun Nampo-dong di peta tersebut dan jarinya memberi kode kepada sang petugas untuk memberinya dua tiket. Michael rupanya sudah membeli untuk dirinya sendiri.
Linda memberikan satu tiket kepadaku. Tiket yang terbuat dari kertas karton tebal itu harus kami masukkan ke dalam lobang yang ada di pagar-pagar yang membatasi ruang tunggu subway tersebut. Begitu kami masukkan, pintunya pun terbuka dan kami berdua pun menyusul Michael yang telah duduk menunggu kami.
“The subway will be here soon. Becareful. Please make sure you stand behind those red lines,” Michael memperingatkan kami berdua.
Pada saat yang bersamaan, terdengar bunyi melengking dari lorong subway. Yang terjadi selanjutnya aku merasakan terpaan angin yang dingin menghantam badan kami. Hih…, pantas saja diberi pembatas segala. Dan baru beberapa saat kemudian, terlihat badan subway melaju kencang sebelum akhirnya berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Michael lalu mengajak kami berdua masuk kedalam subway. Hmm, padat juga ya didalam. Kami jadi tidak dapat tempat duduk. Hampir saja aku terjebak oleh Linda yang menyuruhku untuk duduk di pojokan gerbong. Sepintas kuperhatikan ada gambar yang memberi petunjuk bahwa kursi di pojokan itu diperuntukkan bagi para manula dan penyandang cacat.
Kami berdua kembali tertawa tertahan. Orang-orang disekitar kami memandangi kami dengan pandangan ingin tahu. Namun, tak lama kemudian merekapun sibuk kembali dengan kegiatannya. Michael sendiri nampak asyik membaca koran. Penumpang lain juga ada yang terlihat tengah membaca, ada yang sedang termenung sambil mendengarkan musik dari MP3 player-nya dan… kejutan. Ada yang tidur!
“Nggak beda ya sama di kampung halaman,” aku menyeringai kearah Linda sambil pandangan mataku menunjuk ke orang tersebut.
“Iya. Aku juga nggak nyangka. Waktu aku ke Jepang, pemandangan seperti ini nyaris tidak ada lho! Kebanyakan diantara para penumpang itu pasti asyik membaca,” ia menerangkan. Lalu pandangan matanya mulai menggoda lagi.
“Untung juga kita berdiri. Coba kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sleeping beauty”
Aku tertawa. Tidur memang jadi pilihan menarik soalnya apa yang bisa dilihat di bawah tanah begini? Paling-paling orang-orang pacaran yang kelihatannya beredar nyaris di setiap penjuru gerbong. Di malam minggu begini mungkin mereka smua menuju Nampo-dong yang dari kubaca adalah salah satu tempat gaul di Busan.
Setelah nyaris bosan karena perjalanan yang lumayan lama (Linda bilang hampir 10 stasiun kami lewati), akhirnya kami sampai di stasiun yang dituju. Berbaur dengan para pengunjung kami memasuki Nampo-dong. Sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah pertokoan dan kafe serta restoran. Semua padat terisi. Disini jalan-jalan besar yang bisa dilalui mobil itu bercabang lagi menjadi jalan-jalan yang lebih kecil.
Michael lalu mengajak kami masuk ke sebuah restauran. Linda memandangku dengan pandangan tidak percaya. Astaga, kita khan baru saja makan tadi sore!. Kami duduk lesehan lagi, seperti tempat yang kami kunjungi sebelumnya. Namun kali ini, kami mengikuti saja apa yang dipesan oleh Michael.
“Have you two ever try to drink Soju?” ketika dilihatnya kami menggeleng, ia melanjutkan,”Then tonight you will try some of our famous liquor.”
Dan tak lama kemudian, pelayan restoran tersebut datang dengan membawa 3 botol Soju serta tiga sloki untuk kami. Glek, tidak disediakan air putih ya? Sementara itu, Linda asyik mendengar penjelasan Michael mengenai tradisi minum-minum di Korea.
“There were so many rules to be followed, long hard working hours… the best way to keep our sanity is by having fun. Drinking, is one of them”
Oh, begitu? Pantas saja kenapa sebentar-sebentar adegan dalam film Korea itu kok dihabiskan dengan minum-minum melulu.
“Here…,” ia lalu mengangkat salah satu botol Soju itu. “When someone older than you poured you a drink you must lift your glass with both hands… Yes, like that…” ia membenarkan ke arah Linda yang sudah mengangkat gelas tersebut. Sambil menuangkan hingga penuh Michael menambahkan,”And it goes the same way when you want to pour a drink for your elder…”
Giliranku selanjutnya. Akupun mengikuti yang diminta Michael. Ia menambahkan lagi keterangan selanjutnya,”For us, it is an honour when your elder or your senior offer you a drink… And now… cheers!”
Gelas-gelas saling beradu. Kuperhatikan Michael langsung menenggak minumannya. Sementara Linda agak menggeser badannya ke arah lain, menutup gelasnya dengan tangannya dan barulah ia mulai meminumnya. Seperti biasa, akupun melakukan hal yang sama. Kalau sudah masalah kebudayaan begini, Linda memang paling top deh. Michael terlihat senang karena kami mengikuti ajarannya. Ia segera menuangkan lagi ke gelas-gelas kami. Namun sebelum kami harus menenggak lagi, sang pelayan datang kembali dengan membawa pesanan makanan..
“Ini Samgyetang. Asikkk…,” seru Linda. Kelihatannya dia sudah lupa kalau beberapa jam yang lalu kami baru saja makan. “Coba kamu lihat tuh… Dagingnya anak ayam nih… Nanti kamu cicipin deh… Bumbunya tuh ada didalam. Barengan sama ginseng muda dan nasi ketan… Tuh, ada kimchi juga…”
Disaat kami hampir menghabiskan makanan itu tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapa Michael. Seorang wanita yang kuperkirakan usianya sekitar 25 tahun dan ya amplop…! Mukanya mirip sekali dengan Leticia.
“Gila, mirip banget! Memang bener ya kalau ada yang bilang bahwa kita pasti punya kembaran di pelosok dunia bagian mana… Hanya cewek ini lebih tinggi…,” bisik Linda yang sama terkejutnya denganku.
Michael memperkenalkan wanita tersebut sebagai rekan kerjanya. Aduh, siapa ya tadi namanya? Ohya, Lim Young-eun.
Kami saling berjabat tangan sambil tersenyum-senyum. Ia bahkan menanyakan berapa umur kami dan lalu menyebut umurnya yang ternyata lebih muda.
“Onni,” ia memanggil kami berdua dengan sebutan kakak. “You want to go to PIFF?”
“Yes, “ kami saling berpandangan. Rasanya terlalu panjang untuk bercerita kalau kami sudah gagal memperoleh tiket untuk ikut nonton di acara PIFF ini. Jadi, bagian itu dengan rela kami sensor. “We are planning to see The Untold Scandal”
“Oh!” kulihat matanya langsung berbinar-binar. “You go to see Bae Yong-Jun? Good movie… It is a bit… erhm… “ ia langsung memberi kode bahwa film itu lumayan vulgar. Lalu ia berkata sesuatu pada Michael yang langsung menyambutnya dengan senyuman kecut.
“She said, you two will be the first Indonesian people that are lucky to see the movie” lalu dengan suara kesal ia melanjutkan,”Those TV-series… drove every women nuts… Like Lim Young-eun here…” ia menunjuk ke arah teman kerjanya itu sambil menggelengkan kepala.
Untuk pertama kalinya malam itu aku merasakan bahwa dinding pemisah karena perbedaan bahasa itu luntur. Dan semua itu karena kami membicarakan film.
“Ah, I see you both have finished your meals. Now, come… We will go somewhere else…” Michael lalu memanggil sang pelayan untuk meminta bon. Lagi-lagi ia menolak ketika dilihatnya kami membuka dompet. Namun suara Linda kali ini terdengar sangat tegas.
“We could not let you do that… Please, allow us to pay for the meals…”
Suasana jadi senyap. Aku memperhatikan wajah Michael yang berubah menjadi tidak senang. Disatu sisi aku setuju dengan Linda. Disisi lain, aku jadi tidak enak hati karena pasti Michael merasa kami tidak menghargai niat baiknya.
“I will pay for this time, Linda…” terdengar suara Michael. “I will let you know when will be the time for your turn”
Linda hendak membantah. Tapi aku langsung mencegahnya dan menyetujui usul Michael. Linda nampak kesal karena tidak diperdulikan oleh Michael. Susah payah aku membujuknya agar kita menggantinya di lain kesempatan.
Ia memandangku dengan gusar sebelum mulai mengomel,“ Justru itu masalahnya, Ndy… Aku tidak mau kalau kita hanya menghabiskan waktu dengan makan, dan makan, dan makan. Makanan disini tidak murah. Apa kamu mau uang kita hanya habis di makanan saja?”
Iya juga sih… Yah, mudah – mudahan saja tidak akan begitu nanti kejadiannya...
*please find these previous chapters*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H