Mohon tunggu...
Ria Tumimomor
Ria Tumimomor Mohon Tunggu... lainnya -

I am an Indonesian woman who loves blogging about my experience on public transportation at http://riamrtumimomor.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Korea Love Story bab 3

22 Juni 2010   00:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:23 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

From: Michael Han <seekorea@hotmail.com>

To: Sandy Martin<sandymartin@esurat.net.id>

Sent: Thursday, Oct 02, 2003 02:25 PM

Subject: Awaiting for your arrival.

Dear Sandy,

I am happy to know that you both are going to be here in Busan, at the very early of your arrival. I will send you the address of the Guest House.

I will be happy to become your guide as well. Such as taking bus and subway in Korea will be a unique chance to feel difference of traffic culture. Even Seoul citizens don't know the traffic route of bus because of too much bus network. I always use subway and sometimes taxi except rush hour.

My age? "How old are you?" is one of common questions among Koreans and it's not rude one. I was born in 18 January, 1964. so I am 39 years old exactly. But most of Koreans said "you are 40 years old" because we, Koreans think that the 10th month during the period of pregnancy is included among one's age and when baby is born, it's age is one year old.

I do hope you will enjoy your visiting here in Korea. And we all here look forward in meeting you both.

Thank you and best regards,

Michael Han

P.S. I will send a photo of me and my family. Thank you for sending me yours.

Ternyata akhirnya kami berangkat juga! Malam ini kami akan bertolak menuju Seoul. Aku merasa… Excited. Berhubung aku tidak pernah keluar negeri, berkali-kali aku bertanya kepada Linda dimana kami harus bertemu. Akhirnya karena bosan, ia sampai mengirimkan SMS yang menyatakan bahwa kami akan bertemu di Terminal 2 dan kalau aku sampai bertanya lagi dia akan membatalkan rencana kepergiannya, tidak peduli dengan tiket yang sudah ada di tangan. Ancamannya cukup ampuh untuk menutup mulutku.

Sebelumnya kami masih meributkan tentang perjalanan kami. Bagaimana, agar jangan sampai berhutang terlalu banyak dengan Michael. Walaupun mungkin ia bisa mendapatkan voucher gratis bagi kami sehubungan dengan pekerjaannya. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk langsung singgah di Busan. Dengan demikian, kami hanya berhutang tempat penginapan di Guest House. Ya, Michael juga mempunyai kenalan yang mengelola Guest House di Busan. Tentunya lebih baik daripada kami harus berhutang biaya penginapan di Hotel khan?

Tapi bukan hal itu saja yang membuatku semangat. Karena dengan pergi ke Busan, aku bisa mengambil kesempatan ini untuk menonton film Bae Yong-jun (actor Korea yang berperan dalam serial TV Hotelier) yang baru itu di Pusan International Film Festival. The Untold Scandal judulnya kalau tidak salah. Film yang ceritanya diadaptasi dari novel Perancis yang judulnya Dangerous Liaisons adalah debut pertamanya. Dan walau tidak ada urusan dengan aku…ya namanya juga penggemar. Aku ingin nonton saja.

Sesuai rencana, kami bertemu di bandara Soekarno-Hatta pada pukul 19.00. Keberangkatan kami disertai oleh kontingen masing-masing. Linda dengan orangtuanya. Demikian pula dengan diriku. Plus, adikku Jenny yang tidak mau ketinggalan. Saat kedua keluarga tengah bercakap-cakap, kamipun meninggalkan mereka sejenak untuk check-in dan membayar fiskal. Ketika waktu menunjukkan pukul 21.30, keluarga kami memutuskan bahwa sebaiknya mereka kembali ke rumah dan mulai berpamitan satu sama lain.

Setelah kontingen keluarga kami, sekarang giliran teman-temanku yang menghubungiku untuk mengucapkan selamat jalan dan tentu saja jangan lupa oleh-olehnya. Linda pun mulai menghubungi Dion. Tak ingin mendengar kalimat-kalimat mesra darinya kepada Dion, aku pun berjalan sambil menghubungi Leticia.

Enjoy this trip! Ingat, emosi kamu itu ditahan ya! Jangan cepat gusar karena masalah sepele… Kalian hanya berdua. Dan harus saling mengandalkan satu sama lain. Okay?”, Leticia menambahkan nasehat sebelum mengakhiri pembicaraan.

Selesai sudah acara berpamitan ini. Linda dan akupun bersama-sama mematikan ponsel kami. Yah, selain karena berbahaya untuk digunakan di pesawat; toh nanti juga tidak ada gunanya disana. Tak lama kemudian, terdengar pengumuman bagi kami para penumpang agar mulai memasuki pesawat. Maka kami pun beranjak dari tempat duduk kami dan bersama dengan para penumpang lain berjalan menuju badan pesawat. Sesampainya didalam kami mencari nomor tempat duduk H44 dan H45. Yup, ini dia…

Ah, akhirnya… Ransel dan lukisan wayang yang masih kami bawa segera kami alihkan ke kabin. Kami hanya menyimpan barang-barang penting seperti passpor dan tiket di kantong kami. Sementara itu. waktu telah menunjukkan pukul 22.35 WIB. Mulai terasa oleh kami getaran badan pesawat yang hendak mengudara. Korea here we comeGoodbye Jakarta… Aku dan Linda berniat tidur sepanjang perjalanan. Kami betul-betul lelah, karena memburu waktu kesini seusai jam kerja tadi. So, goodnight

“…”

Gggrrh, badanku sudah pegel nih… Mata juga rasanya lengket banget… Tapi kenapa belum tidur-tidur juga sih?

“Ndy, Ndy…,” sayup-sayup kudengar suara Linda. “Kamu sudah tidur ya?”

Enaknya dijawab apa nggak ya? Kok dia tahu aja sih kalau aku tidak bisa tidur dari tadi? Dengan terpaksa aku membuka mata dan bertanya ada apa dengan Linda.

“Oh, aku kira kamu sudah terlelap tadi,” dengan entengnya dia melanjutkan.”Soalnya aku tidak bisa tidur nih…”

“Jadi kamu bangunkan aku supaya kita berdua jadi tidak bisa tidur ya?”

“Errh, iya dan tidak… Kamu memang harus bangun karena pramugari itu akan memeriksa paspor dan tiket kita… Jadi, buka matamu lebar-lebar sekarang dan siapkan yang aku sebutkan tadi…”

Wah, kalau sudah terganggu begini sih alamat aku tidak akan bisa tidur sampai nanti kita tiba deh! Usai pemeriksaan tiket itu, kemudian datang hidangan makan malam. Hmm, benar-benar membuatku akan terjaga semalam suntuk. Kami menghabiskan waktu sambil berbicara perlahan karena penumpang lain kelihatannya sudah tertidur di tempat duduk mereka. Lampu-lampu yang menyala pun hanya lampu baca. Terkadang kami memejamkan mata tanpa berhasil melesat ke dunia mimpi.

Hingga mendadak Jreng! Waks! Tiba-tiba kurasakan lampu-lampu menyala kembali. Dengan gusar aku menaikkan selimutku hingga menutup kepala. Aduh, kayaknya baru saja aku terlelap. Jangan bilang, bahwa pesawat ini akan segera tiba di Korea… Dan seolah menjawab pertanyaanku, terdengar suara pengumuman yang menyebutkan bahwa dalam 40 menit pesawat akan mendarat di bandara internasional Incheon. Diikuti dengan pemberitahuan bahwa cuaca di Seoul saat ini berkisar diantara 10º Celcius hingga 13º Celcius. Aku dan Linda saling menyeringai ketika merasakan badan pesawat mulai melakukan pendaratan di bandara Incheon dan akhirnya berhenti sama sekali. Thanks GOD…

“Kita tidak usah buru-buru turun,” cetus Linda ketika dilihatnya aku hendak mengambil ransel kami dari kabin, “Mendingan kamu dulu lihat pemandangannya dari jendela sini.”

Ia menarik tanganku dan aku pun terkesima melihatnya. Ternyata Korea memang benar negara yang dikelilingi oleh pegunungan. Bahkan di bandara ini saja, sudah terlihat pegunungan yang terlihat begitu dingin dan kokoh, memagari bandara. Dari yang kubaca bandara Incheon ini resmi menggantikan bandara yang lama; Gimpo Airport di tahun 2001. Gimpo Airport, saat ini dipergunakan untuk penerbangan domestik

Sementara aku melihat pemandangan, Linda sudah mulai mengeluh bahwa telepon genggam kami tidak bisa digunakan. Ia menjadi khawatir karena tidak tahu apakah Dion sudah menghubunginya atau belum. Aku pun berpura-pura sibuk ingin mengambil barang di kabin sambil melihat kearah jam. Wah, di Jakarta masih jam 05.30 pagi. Orang-orang dirumah pasti masih tidur nih! Tapi pemeriksaan di bagian imigrasi berlangsung lumayan lama. Antrian panjang terlihat di counter yang terbagi untuk penduduk setempat dan pendatang. Mereka tidak banyak bertanya seperti yang aku takutkan. Dan sekarang, tiba saatnya mengambil koper kami dari bagasi.

“Lewat sini,” ia langsung bergaya ala pemimpin rombongan. Tangannya mengarah ke eskalator. Tapi…

“Kok, eskalator tidak jalan? Mati ya?” dengan kecewa aku bertanya. Wah, mana kelihatannya panjang sekali tangganya untuk turun ke bawah.

Linda memukul perlahan pundakku,”Eskalator ini automatic, bego. Makanya, watch and learn.”

Lalu dengan gaya yang dibuat-buat ia melangkah ke eskalator tersebut. Satu tangannya di letakkannya di pinggang, sementara tangan yang lain ada di eskalator. Lalu ia melirik kearah ku dengan wajah yang dihiasi senyum mengejek. Tek.., terdengar suara dan … tangga itu beneran jalan sendiri lho. Dasar norak, norak…

Koper sudah ditangan. Sekarang tiba saatnya mencari telepon umum. Mulailah kami celingukan mencari boks mesin yang menjual kartu telepon. Yang pertama terlihat oleh kami, dalam jarak beberapa meter, tersedia bangku-bangku untuk beristirahat. Nah, tidak jauh dari bangku-bangku itulah terdapat banyak telepon umum. Dan tepat berdiri tegak disampingnya, boks untuk membeli kartu telepon.

Kami mulai membaca petunjuknya… Gampang kok… Masukkan uang kertas senilai kartu telepon… coba kulihat… 20,000 Won… Oke… Nah, ini dia kartu teleponnya. Masih ada petunjuk lainnya. Disebutkan, kami harus menekan tombol darurat yang ada pada pesawat telepon untuk melanjutkan menggunakan kartu ini. Kami saling mengangkat bahu tanpa tahu apa maksudnya. Yang mana sih, tombol darurat itu? Mata kami mulai mencari-cari bantuan. Dan ketika dua orang petugas keamanan lewat, kami putuskan untuk bertanya pada mereka.

Mereka lalu menunjuk ke tombol yang berwarna merah. Itulah yang dimaksud tombol darurat. Setelah mengucapkan terimakasih, kami langsung menghubungi keluarga kami dirumah. Tidak lama kemudian aku sudah mendengar Linda mengeluarkan suara manjanya. Pasti dengan Dion lagi. Lebih baik aku segera melanjutkan menghubungi Michael Han sekarang daripada mendengarkan dirinya mengobrol mesra dengan Dion.

Hmmm, tapi ngomong-ngomong ini siapa ya yang menerima telepon? Kok, seperti suara wanita. Jangan-jangan istrinya Michael ini tidak bisa berbahasa Inggris… Aku menunggu beberapa saat sebelum terdengar suara lain menjawab di penghujung telepon.

This is Michael. May I know who’s calling?”

Yess! Aku hampir berjingkrak karena senang dan lega. Syukurlah Michael ada dirumah.

Hi Michael. This is Sandy. Your Indonesian friendHow are you?”

Wah, sungguh sesuatu yang menyenangkan untuk bisa mendengar suara orang yang selama ini hanya kita kenal melalui surat. Dan setelah cukup berbasa basi, ia langsung menyarankan kami agar bergegas menuju Bandara Gimpo. Ia telah membantu memesankan tiket Asiana Airlines untuk keberangkatan pukul 11.30 pagi. Aku melirik jam. Sekarang baru jam 08.30 dan ini artinya kami masih punya banyak waktu. Ia mengulang lagi kode booking untuk pemesanan tiket kami. Plus memberitahukan bahwa kami bisa memilih untuk naik bus atau taksi kesana. Namun aku agak kecewa ketika ia meminta maaf karena tidak bisa menjemput kami. Akhirnya, setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi atas bantuannya, aku memutuskan pembicaraanku dengan Michael. Selang beberapa menit kemudian, kuceritakan pada Linda mengenai pembicaraanku dengan Michael setelah ia pun mengakhiri pembicaraannya. Tanpa menceritakan bagian dimana Michael mengatakan ia tidak bisa menjemput kami.

“Loh, kenapa tadi kamu tidak bilang sedang bicara dengan Michael? Aku khan juga ingin berterimakasih…!”

“…”

“Kok diam sih? Sialan. Pasti kamu pikir aku tidak bisa berhenti bicara dengan Dion ya?”

“Sudah tau kok nanya…”

Linda mendorongku dengan tampang yang dibuat seolah dia merasa kesal. Kujelaskan bahwa Michael meminta kami berdua untuk menuju bandara Gimpo.

“Memang jam berapa sih berangkatnya? Eh, kenapa kita harus kesana? Bukannya kita bisa ke Busan langsung dari sini?” tanya Linda dengan heran.

Oh, iya juga ya? Yah, mungkin Michael ingin kami jalan-jalan sedikit dalam perjalanan menuju bandara Gimpo. Lagipula, terus terang aku agak-agak keblinger nih kalau mau mencari dimana bagian bandara ini yang diperuntukkan untuk keberangkatan. Aku baru menyesal tidak bertanya lebih lanjut pada Michael ketika menyadari bahwa untuk menuju bandara Gimpo kami harus mengeluarkan 12,000 Won untuk tiket bis Limousine.

“Nah, nyesel nggak kita harus ke Gimpo segala? Coba tadi kamu biarkan aku bicara sebentar dengan Michael!” Linda meledekku habis-habisan ketika dilihat betapa tidak relanya aku mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk naik bis!

Nah, sekarang kita sudah di luar… Brrrr… dingin sekali!

“Udaranya segar ya?” celetuk Linda sambil menghirup udara dalam-dalam.

“He-eh,” hanya itu saja yang keluar dari mulutku. Sementara tanganku sibuk menaikkan resleting jumper yang kukenakan. Brrrr… udara begini dingin, kok dibilangnya segar? Tapi, memang harus kuakui kalau udaranya tidak dingin-dingin amat. Karena walau angin yang berhembus membuatku menggigil, masih ada sinar matahari yang menghangatkan badan. Mungkin karena masih masa peralihan dari musim panas ke musim gugur barangkali? Aku memperhatikan suasana bandara yang lengang. Rasanya masih tidak percaya aku sudah sampai disini.

Beberapa orang, yang kuasumsikan pekerja di bandara itu menghampiri kami. Mereka menunjuk ke arah koper-koper kami. Linda memperlihatkan tiket bus-nya dan para pekerja-pekerja ini mengangguk-angguk. Seolah-olah hendak memberitahu kami bahwa kami sudah menunggu di tempat yang benar. Tidak sampai 15 menit bis yang kami tunggu telah tiba. Pengemudinya keluar dan meminta tiket kami.

“Gimpo?’ ia bertanya kepada kami. Lalu ia mempersilahkan kami menaiki bis-nya. Sementara itu ia dibantu para pekerja tersebut mengangkut koper-koper kami ke bagasi bus yang letaknya ada dibadan bus sebelah kanan. Oh, di Korea rupanya para pengemudi duduk di sebelah kiri kendaraan. Didalam bisa lengkap dengan TV layar datar yang terletak di belakang kursi pengemudi. Serta penghangat ruangan pula. Masih disediakan tempat yang lumayan luas untuk meletakkan barang yang enggan dimasukkan kedalam bagasi. Jadi kita bisa duduk dengan santai, tanpa tangan kita repot memegang sesuatu.

Kami mengira bis sudah akan berangkat ketika sang supir masuk kembali. Namun, ia malah menghampiri kami berdua.

Where are you coming from?” ia bertanya kepada kami seraya tersenyum ramah.

“Indonesia,” kami menjawab dengan sesopan mungkin. Lalu menunggu pertanyaan apa berikutnya.

Oh, you are not from China?” dia melanjutkan. Kami menggelengkan kepala Ia pun mengangguk-angguk. Dan setelah bertambah lagi seorang penumpang, ia pun mulai menjalankan kendaraannya. Linda mengingatkanku untuk memakai sabuk pengaman yang tersedia di tempat duduk kami.

Ketika akhirnya kami sampai setelah menempuh waktu perjalanan selama setengah jam, sang pengemudi bergegas turun dan membantu mengeluarkan koper-koper kami. Kami membungkukkan badan dan mengucapkan,” Kamsa hamnida” yang artinya terimakasih. Bapak pengemudi yang baik itu pun melambaikan tangan balik dan ia pun berangkat melanjutkan tujuannya.

Segera kami memasuki bandara Gimpo yang terlihat lebih sederhana dibandingkan Incheon dan mencari counter Asiana Airlines. Ketika sedang mencari-cari, tiba-tiba mata kami tertumbuk pada seorang pegawai yang mengenakan seragam bertuliskan Asiana Airlines. Segera kami hampiri petugas tersebut. Tanpa membuang waktu, ia mengantarkan kami hingga sampai di counter. Disana, aku memberikan kode booking pesawat yang diinformasikan oleh Michael. Tiket segera diproses setelah kami melunasi pembayarannya. Usai proses tersebut, kamipun berjalan bersama menuju ruang tunggu. Mendadak aku teringat lagi akan Michael yang tidak bisa menjemput kami.

“Ndy, ayo jalan. Kok bengong?” Linda setengah berteriak ke arahku.”Buruan yuk, kita langsung aja ke ruang tunggu. Biar bisa cepet nanti naik ke pesawat”

Akupun bergegas menghampirinya. Dan tanpa menghentikan langkah, aku pun menyampaikan informasi tersebut.

“Iya… aku datang. Oh…, sekalian nih mau bilang. Tadi Michael minta maaf karena dia tidak bisa datang menjemput. Jadi, nanti kita nyari sendiri guest house-nya itu. Okay? Okay deh…”

“…”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun