Mohon tunggu...
Ria Berlian Tambunan
Ria Berlian Tambunan Mohon Tunggu... Lainnya - TAX AND LAW

Saya adalah seorang profesional yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perpajakan di PT Wijaya Karya Beton,Tbk, khususnya untuk Wilayah Penjualan V Surabaya. Selain itu, saya juga memberikan layanan konsultasi dibidang hukum dan perpajakan. Saya juga telah berhasil menyelesaikan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak dan telah memiliki ijin Konsultan Pajak tingkat B, adapun latar belakang pendidikan saya mencakup Sarjana Akuntansi, Sarjana Hukum, dan Magister Ilmu Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Efek Pemberlakuan Core Tax System Terhadap Dunia Usaha Wajib Pajak

9 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   18:43 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Belum lama setelah wajib pajak menghadapi perubahan pemberlakuan tarif PPN sebesar  12% diawal tahun 2025, disaat yang bersamaan pula wajib pajak khususnya badan usaha dihadapkan kembali dengan pemberlakuan core tax system yang sudah mulai diterapkan sejak  awal Januari 2025. Sebagaimana amanah dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/2024 yang bertujuan untuk melaksanakan pembaruan system administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan fleksibel, namun hingga saat ini ( tanggal 9 Januari 2025) lebih dari sepekan pemberlakuan core tax system tersebut belum dapat diterapkan secara maksimal, khususnya terhadap penerbitan faktur pajak secara elektronik. Banyak keluhan yang dihadapi wajib pajak terhadap sistem tersebut sehingga dapat berdampak terhadap kelangsungan dunia usaha mereka. Efek yang dihadapi oleh badan usaha antara lain: tidak dapat melakukan penagihan terhadap barang dan atau jasa yang telah mereka jual, barang yang akan dijual tidak dapat dikeluarkan dikarenakan pihak bea cukai mensyaratkan adanya penerbitan faktur pajak sehingga menghambat proses produksi karena barang tidak dapat dikeluarkan dari pelabuhan. Hal tersebut secara tidak langsung dapat mengakibatkan arus kas perusahaan tidak bisa berputar secara maksimal dan dapat mengakibatkan kerugian terhadap badan usaha.

Dalam menghadapi situasi dan kondisi tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menemukan problem solving dengan cara melakukan komunikasi dengan berbagai pihak seperti penyedia jaringan komunikasi, mengoptimalkan kapasitas sistem dan melakukan pengawasan akses sistem selama 24 jam x 7 hari. Namun demikian, upaya tersebut belum dapat memperoleh hasil maksimal.

Untuk mengatasi hal tersebut, seharusnya pemerintah dapat melakukan tindakan berupa diskresi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang Undang Administrasi Pemerintahan. Diskresi merupakan salah satu hak pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas dan hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini dapat dilakukan oleh Kementrian Keuangan. Adapun diskresi yang dapat dilakukan yaitu pemberian kebijakan salama masa transisi tidak mensyaratkan penerbitan faktur pajak namun digantikan dengan dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak atau dokumen setoran pajak hingga core tax system berjalan optimal dan efektif. Dengan cara demikian dapat membantu badan usaha tetap dapat menjalankan kegiatan operasional seperti biasanya tanpa mengganggu arus kas perusahaan serta menimbulkan rugi bagi perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun