Istilah "epistemologi" dapat ditelusuri kembali ke kata Yunani "episteme" dan "logos." yang mengacu pada pengetahuan, atau episteme, sedangkan logos mengacu pada teori atau pengetahuan sistematis. Menurut Gufron et al., epistemologi adalah subbidang filosofis lain yang menyelidiki keaslian konsep, struktur, metode, dan validitas suatu pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologi juga dapat digambarkan sebagai ilmu yang menyelidiki dan membahas pengetahuan serta metode untuk memperoleh pengetahuan itu.Â
Epistemologi nalar bayani adalah pendekatan yang menggunakan teks dan nash sebagai sumber utama pengetahuan. Nalar bayani merupakan metode berpikir yang berlandaskan pada teks, seperti Al-Qur'an dan hadis. Pendekatan bayani melahirkan sejumlah produk hukum Islam, seperti fiqih Islam dan ushul fiqih. Selain itu, pendekatan bayani juga melahirkan sejumlah karya tafsir Al-Qur'an.Â
Nalar Bayani tak bisa ditafsirkan sebagai model pemikiran metodologis yang semata-mata bersumber pada bacaan dalam bahasa filosofis yang disederhanakan. Dalam hal ini, satu-satunya sumber otoritatif untuk menentukan jalan kebenaran adalah teks suci. Sedangkan tujuan satu-satunya akal adalah untuk melestarikannya. makna, yang hanya dapat dibangun dengan menelaah keterkaitan antara makna dan pengucapan. Menurut Abed Al-Jabiri, fungsi akal dalam epistemologi Bayani bahkan disebut-sebut sebagai sesuatu yang menahan atau mengatur nafsu dan membenarkan. dan menegaskan kebenaran (otoritas teks).
Kata Bayan ditafsirkan oleh para mufassir dalam berbagai cara selama pembahasan tafsir, khususnya ketika menafsirkan kata Bayan dalam ayat 4 surat alRahman. Al-Alusi, misalnya, mengartikan Bayan sebagai berbicara dengan lancar dan mengungkapkan isi hatinya. dalam tafsir Ruh al-Ma'ani. Al-Bayan juga berarti "baik" dan "buruk", "jalan petunjuk" dan "jalan kesesatan", "pengetahuan dunia" dan "pengetahuan akhirat", "nama segala sesuatu", dan "berbicara dalam berbagai bahasa". Para fukaha (ahli fiqh), mutakallimun (teolog), dan ushulliyun (ahli ushul al-fiqhi) sebagian besar telah memanfaatkan epistemologi Bayani.
Pendekatan atau penalaran bayani ini juga digunakan sebagai mengekstrak makna zahir dari lafaz zahir saat mereka menggunakannya sebagai alat untuk memahami atau menganalisis sebuah teks untuk menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung atau diinginkan dalam pengucapannya. Hukum-hukum al-nushush al-diniyah (al-Qur'an dan Hadits) kemudian dipelajari dengan menggunakan nalar bayani ini.
Bayani merupakan cara berpikir umum dalam bahasa Arab yang menegaskan otoritas teks (nash), baik secara langsung maupun tidak langsung, dan didukung oleh penalaran linguistik berbasis inferensi. Secara langsung mengacu pada memahami teks sebagai pengetahuan yang lengkap dan menerapkannya secara langsung tanpa mempertimbangkan pemahaman teks secara tidak langsung tanpa memerlukan interpretasi atau penalaran. Namun, ini tidak berarti bahwa akal diperbolehkan untuk menentukan makna atau tujuannya sendiri; melainkan, artinya akal harus tetap bersandar pada teks.
Menurut Hadikusuma, dalam Bayani, rasio atau akal tidak dapat memberikan pengetahuan tanpa teks. Boleh dikatakan bahwa pokok persoalannya adalah lafadz-makna dan ushul-furu karena nalar bayani berkaitan dengan teks. Misalnya, bagaimana menggunakan istilah-istilah khusus dalam asma 'al-syar'iyyah, seperti kata-kata doa, syiah, dan zakat, bagaimana membuat analogi untuk kata-kata atau istilah yang tidak disebutkan dalam teks suci, dan apakah sebuah teks dimaknai menurut konteksnya atau makna aslinya (tauqif).Â
Ada dua teori utama dalam bayani ini: istinbath dan qiyas. Meskipun penetapan hukum harus qoth'i, keduanya tetap dzonni. Akibatnya, diusulkan tiga teori untuk mengembalikan bayani. Berbeda dengan qiyas bayani, yang mengandalkan furu' pada ushul, yang dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru, al-Istintaj menarik kesimpulan yang dipandu atau berdasarkan dua pemikiran.
Karena semua dalil mengandung dua premis—nadzoriyah, atau premis minor yang didasarkan padadra, rasio, penelitian, dan penalaran, dan naqliyah, atau premis mayor yang didasarkan pada proses transmisi—al-Syathibi menegaskan bahwa pengetahuan Bayani pasti diperoleh melalui proses silogistik. Dalam epistemologi Bayani, ada dua jalur menuju pengetahuan. Pertama, berpegang pada editorial (lafazd) dengan menganalisis menggunakan aturan tata bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf. Prinsip dasar epistemologi bayani adalah qiyas, atau analogi, dalam metode kedua. Sebagai epistemologi keilmuan Islam, Bayan umumnya menganut setidaknya tiga prinsip dasar.
Pertama, prinsip pemutusan dan pemutusan yang dikenal dengan prinsip infishal, yang dikembangkan dari teori atomisme yang pertama kali dikemukakan oleh Mu'tazilah dan kemudian diadopsi oleh mazhab Asy'ariyah. Teori ini, sebagaimana pengetahuan umum, berpendapat bahwa semua sesuatu dan semua peristiwa di alam semesta sebagian besar terputus-putus. Kecuali atas kehendak Tuhan, tidak ada kaitan antara satu hal dengan hal lainnya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, dan bahkan antara tindakan manusia dan tindakan lainnya.
Kedua, konsep tajwiz, yang berarti kemungkinan. Gagasan tentang kemungkinan ini lahir sebagai hasil teologis dari prinsip infishal. Adalah logis untuk menerima bahwa Tuhan dapat bertindak di luar hukum kebiasaan atau hukum kausalitas karena kehendak Ketiga. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, qiyas adalah perangkat metodologis yang membuat analogi antara satu cabang hukum dan hukum asli dalam fiqh. Atau, dalam tradisi kalam, membuat analogi antara dunia nyata dan dunia gaib (istidlal bi al- syahid 'ala al-gha'ib).Â