KENANGAN masa lalu mengenai kampung halaman selalu tak bisa ditinggalkan atau dilupakan dalam ingatan. Seperti apa pun, senestapa apa pun atau sebahagia apa pun, kenangan yang telah berlalu justru menyeruak mengambil tempat dalam pikiran dan tampil menjadi sebuah catatan diri yang tak pernah hilang.
Setidaknya, hal itulah yang muncul saat membaca lembar demi lembar kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Anak-Anak Masa Lalu, karya Damhuri Muhammad, terbitan Marjin Kiri,pada Juni 2015. Kenangan masa lalu yang dihadirkan melalui cerita pendek justru menjadi kekuatan sebuah kisah, yang memaksa para pembacanya untuk berhenti sebentar, diam, berpikir, dan merenung mengenai apa yang telah dilalui dalam menjalani hidup, utamanya masa anak-anak.
Satu demi satu cerita pendek seakan menggugah lintasan jejak rekam yang telah terlewati seiring dengan perjalanan waktu. Sebuah catatan atas protes sosial. Gugatan hati atas apa yang telah terjadi meski tak semuanya mampu tersalurkan dan tak bisa diungkapkan secara lisan pada masa lalu. Kata-kata tersimpan yang memfosil dalam pikiran dan selalu muncul berbaur di antara nestapa, bahagia, dan kerinduan akan kampung halaman.
Saat menghadiri Kupas Buku Damhuri yang diadakan Kupas Buku Club, pada akhir September lalu di Woot Cafe, saya menyadari adanya unsur kekuatan di dalam kenangan-kenangan masa lalu, yang dihadirkan dalam bentuk cerita pendek. Judul buku kumpulan cerpen Anak-Anak Masa Lalu, diambil dari salah satu cerpen berjudul sama
Keinginan hanya menyimak apa yang ada di dalam buku Damhuri ternyata memancing saya untuk menuliskan ulang yang ada di dalam buku kecil itu. Membaca cerpen-cerpen dalam Anak-Anak Masa Lalu seakan mengingatkan seringkali kita mengabaikan hal-hal kecil yang mungkin saja justru bisa menjadi kenangan menyakitkan bagi seorang anak kecil di kampung, yang bisa jadi masih termasuk dalam hitungan kerabat dekat
Membaca Cerpen Lelaki Ragi dan Perempuan Santan
Protes Sosial Dalam Cerpen
MELALUI cerpenLuka Kecil di Jari Kelingking, Damhuri mengisahkan kenangan masa kecil yang terintimidasi oleh hardikan dan makian dengan mata membelalak saat melihat sedan mengilat yang terparkir di depan halaman rumahnya. Saat itu, saudara perempuan Emak-nya yang berhasil di rantau datang berkunjung.
Hasrat ingin mendekati dan melihat-lihat sedan mewah, yang jarang sekali ada di kampung langsung sirna oleh hardikan suami kakak perempuan Emak,”Hoiiiii, jangan kau pegang, Buyung. Itu mobil mahal. Lecet sedikit saja bisa tergadai dua musim panen sawah Emakmu untuk menggantinya.”
Sindiran-sindiran mengenai lakon hidup hadir dalam cerpen Damhuri lainnya. Dalam cerpen Rumah Amplop dikisahkan mengenai Sukra, yang dimasukkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan uang pelicin hasil lelang harta benda keluarga, ladang, dan tanah warisan demi mengejar kemuliaan menjadi keluarga yang berlimpah puji dan puja karena mengantongi SK PNS.