“Mengapa kamu mengingkari kepercayaanku, Mas? Mengapa? Sekarang kamu sudah jadi tentara, gagah. Berani mati membela negara, tapi kenyataannya tidak berani mati membela janjimu sendiri,” kata Suryati kepada Suyono/Izinkan Saya Menikahinya-SMA Rembang, Purbalingga
KALIMAT yang diungkapkan dengan bahasa daerah dan dialek Purbalingga itu begitu menyentuh saat film pendek karya pelajar SMA Rembang, Purbalingga Jawa Tengah, diputar di final Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2016, yang diselenggarakan Kompas TV di Bentara Budaya Jakarta, 20 Januari 2016.
Para penonton yang menyaksikan terdiam. Padahal, beberapa saat sebelumnya, sejumlah penonton sempat mengucapkan kata ciee..., ketika Suryono mengucapkan janji serius untuk menikahi Suryati dengan penggunaan bahasa ngapak inyong.
Kandasnya kisah cinta sepasang kekasih yang dirajut sejak bangku sekolah dan menempuh hubungan Purbalingga-Semarang, karena status Suryati sebagai cucu dari eks Tahanan Politik, mampu menciptakan hening.
Pernikahan yang persiapannya yang telah dilakukan dengan matang, tidak dapat dilanjutkan karena Suyono tidak mendapatkan surat izin menikah dari komandannya.
Suyono adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang tentu saja tidak bisa menikah dengan dengan keturunan dari seorang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Tentu saja, hal ini begitu memukul Suryati, seorang perempuan yang merasa kekasihnya tidak mampu memperjuangkan janji untuk menikahinya.
Sebagai perempuan, sebagai seorang masyarakat biasa, saya pun merasa tersentuh sisi kemanusiaan yang ada. Ada rasa iba dan tak tega yang muncul saat menonton kepedihan Suryati karena batal menikah dengan Suyono karena latar belakang riwayat hidup.
Namun, di sisi lain, terasa pesan yang disampaikan dalam film pendek yang dibuat oleh para pelajar SMA Rembang Purbalingga, Jawa Tengah ini. Film pendek yang berasal daeri kegiatan ekstrakurikuler sekolah ini mengangkat kisah nyata korban peristiwa PKI tahun 1965. Sinematografinya pun begitu apik dijalin sehingga menjadi runtutan pesan yang mudah dicerna.
Ternyata mereka menemukan ada lima orang korban. Salah satu kisah nyata berlatar belakang seorang perempuan tidak jadi menikah dengan tentara karena memiliki kakek yang telah dicap sebagai anggota PKI, kemudian diangkat menjadi tema film pendek berjudul Izinkan Saya Menikahinya.
Meski untuk itu, kegiatan ekstra kurikuler ini sempat tak mendapat dukungan dari pihak sekolah karena mengambil tema berani, sehingga pembuatnya pun beralih menjadi Gerilya Pak Dirman. Bahasa penyampaian film pendek tetap menggunakan bahasa daerah sehingga mengalir alami. Perjuangan yang tidak sia-sia karena film pendek Izinkan Saya Menikahinya, mendapatkan juara 1 di FFPI 2016.