Pendidikan, karier, dan cinta. Semua ini tak lepas untuk membicarakan sosok mahkluk Tuhan bernama perempuan yang memiliki keinginan untuk maju, meraih kesetaraan, tapi terkadang masih harus terbelenggu oleh norma dan tradisi yang melekat kuat di masyarakat.
Dalam ranah perfilman lokal, sudah cukup banyak film layar lebar yang menggambarkan perjuangan perempuan untuk meraih kesetaraan untuk bisa menempuh pendidikan tinggi dan berkarier. Kisah pertama yang membangkitkan semangat perempuan untuk maju dan memperjuangkan emansipasi perempuan adalah Kartini.
Sebagai perempuan penyebar inspirasi, langkah Kartini memang tak pernah tergantikan. Sehingga, tak berlebihan jika hadir lebih dari satu film yang mengangkat jasa sosok Kartini. Sebut saja, film Kartini karya Hanung Bramantyo pada tahun 2017 yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo.
Film ini memperlihatkan perjuangan Kartini memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan untuk bisa menempuh pendidikan, baik untuk perempuan ningrat maupun kebanyakan.Â
Sebelumnya, ada R.A. Kartini (1982) yang diangkat dari buku biografi Kartini Sitisoemandari Soeroto dan Surat Cinta Untuk Kartini (2016) yang merupakan fiksi sejarah.
Nah, perempuan dan perjuangannya untuk menggapai kesetaraan pun masih terus berlangsung hingga kini. Di Indonesia, diawali sejak zamannya Kartini. Di dunia pun tak pernah henti menyuarakannya. Pada peringatan Hari Perempuan Sedunia tahun 2022, mengangkat tema untuk meningkatkan kesetaraan dan menghilangkan diskriminasi terhadap kaum wanita.
Upaya perempuan meraih kesetaraan ini juga terdapat dalam balutan film religi. Sebuah film religi yang fenomenal hingga kini dan menjadi rekomendasi saat ramadan tiba adalah "Perempuan Berkalung Sorban". Film yang dirilis tahun 2009 ini banyak meraih penghargaan meski banyak juga yang menganggapnya kontroversi.
Kesetaraan dalam Perempuan Berkalung Sorban
Berlatar lingkungan pesantren yang masih konservatif, hingga lebih dari sepuluh tahun dari saat rilisnya, "Perempuan Berkalung Sorban" masih menjadi tontonan menarik. Diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqy, film ini bisa membuka mata mengenai perempuan yang berusaha untuk memperoleh kesetaraan dengan kaum laki-laki.
Sejak masih anak-anak, Annisa (Revalina S. Temat) yang dibesarkan di pesantren Al-Huda, Jawa Timur, merasa diperlakukan tidak adil karena kedua kakak lelakinya lebih bebas. Salah satunya, naik kuda. Meski terpilih jadi ketua kelas, Annisa harus melepaskannya karena pemimpin haruslah berasal dari laki-laki.
"Kenapa Nisa nggak boleh?"