Ketiganya menyatu. Melihat dari tampak depanya saja sudah menarik dari segi bangunan, genteng, atap, bahkan dari bentuk pintunya yang tidak akan ditemui pada masjid umum lainnya. Â Tulisan di atas pintu masuknya juga menegaskannya.Â
Terkesan mirip sebuah kelenteng, Masjid Babah Alun Papanggo tampak menarik dengan ciri khasnya yang tidak memiliki kubah. Â Namun, hal itu tak mengurangi nuansa religius yang disandang sebagai sebuah masjid.Â
Struktur bangunan masjid  berbentuk segi delapan. Segi delapan merupakan salah satu simbol yang identik dengan kemenangan umat Islam dalam sejarah Umar bin Khatab menaklukan Kota Palestina. Dalam Bahasa Tionghoa, simbol segi delapan juga mempunyai makna kemenangan.
Jika sedang berkunjung ke Babah Alun, orang-orang  Tionghoa bisa memahami makna kaligrafi yang terpampang di dinding masjid karena disampaikan dalam bahasa yang dimengertinya.
Kami mengambil  air wudhu sebelum salat. Disini, cara mengambil air wudhu ditampilkan dengan gambar dan keterangan menggunakan aksara Mandarin di bawahnya.  Arggh, air yang membasuh wajah, hidung, telinga, tangan dan kaki memberikan kesegaran pada kulit yang sejak pagi terkena terik matahari.Â
Sungguh menentramkan hati. Masjid yang memiliki luas 1.500 meter ini, seperti ummnya dibagi sekat antara jemaah laki-laki dan perempuan.Â
Masjid Babah Alun Papanggo dibangun dari hasil wakaf Muhammad Yusuf Hamka, anak angkat dari ulama Profesor Buya Hamka. Babah dalam Bahasa Betawi sebutan untuk Bapak. Â Nama Alun berasal dari nama Tionghoa Jusuf Hamka, yakni Josef Alun.
Pada tahun 2020, diresmikan masjid ketiga Masjid Babah Alun Desari yang terletak  di pinggir tol Depok Antasari, (Desari), Kota Jakarta Selatan. Sebelumnya, sudah ada  mushola Alun di Ancol dan Masjid Babah Alun Papanggo. Belum termasuk yang perah dibangu Yusuf di Kalimantan, dekat tempat usahanya. Â